KPAI Rilis Kajian Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) Dengan 1700 Responden Siswa

Min.co.id-Jakarta-Sampai dengan Kamis (23/4) Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sudah menerima 246 pengaduan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Banyaknya pengaduan berbanding lurus dengan hasil kajian bidang pendidikan KPAI tentang penerapan PJJ dengan jumlah responden mencapai 1700 siswa. Antusias para siswa dari berbagai daerah untuk berpartisipasi dalam kajian PJJ KPAI sangat mengejutkan. Kajian dimulai pada Senin (13/4) dan berakhir pada Senin (20/4), namun ketika batas waktu pengisian kuisioner habis, ternyata masih banyak siswa yang ingin mengisi kuisioner PJJ KPAI. Para responden berasal dari 20 propinsi dan 54 kabupaten/kota.

Kajian ini menggunakan metode survei, lanjut menggunakan metode deskriptif kuatitatif. Survei dilaksanakan dengan teknik multistage random sampling. Adapun teknik pengumpulan data menggunakan kuisioner yang diberikan menggunakan aplikasi google forms kepada 246 pengadu sebagai responden utama dan 1700 responden pembanding. Dari 1700 siswa yang menjadi rsponden survey PJJ KPAI juga termasuk para pengadu PJJ yang 246 siswa tersebut.

Tujuan Survei adalah untuk mengetahui persepsi siswa tentang pelaksanaan PJJ dan Hasil Survei Akan digunakan KPAI untuk melakukan advokasi kebijakan PJJ dan sistem kenaikan kelas di era pandemic covid 19.

Responden Berdasarkan Wilayah

Setelah PJJ dilaksanakan selama 4 minggu, mulai dari Senin (16/3/2020) hingga Senin (20/4/2020), KPAI menerima total 246 pengaduan online dari para siswa dan orangtua. Pengaduan mulai dari jenjang Taman Kanak-kanak (TK) sampai jenjang SMA/sederajat yang meliputi wilayah 20 provinsi dan 54 kabupaten/kota. Pengaduan tertinggi berasal dari jenjang SMA sebanyak 124 (50,4%), SMK sebanyak 48 (19,5%), MA sebanyak 24 (9,8%). Selanjutnya jenjang SMP sebanyak 33 (13,4%), MTS hanya 3 (1,2%), dan jenjang SD sebanyak 11 kasus (4,5%) dan TK ada 3 kasus (1,2%). Ratusan pengaduan tersebut dari berbagai sekolah dan madrasah yang berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (KEMDIKBUD) maupun Kementerian Agama (KEMENAG).

Adapun rincian provinsi pengadu dan responden survey adalah sebagai berikut : (1) Pulau Jawa terdiri dari DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten; (2) Pulau Sumatera terdiri dari Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Lampung, Sumatera Utara dan Sumatera Barat; (3) Pulau Sulawesi terdiri dari : Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara; (4) Pulau Kalimantan terdiri dari : Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah; (5) Pulau Bali dan Lombok terdiri dari : Bali dan NTB.

Sedangkan rincian kabupaten/kota dari wilayah pengadu dan responden survey KPAI adalah sbb : Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Selatan dan Jakarta Barat (DKI Jakarta); kota Bekasi, kab. Bekasi, kota Depok, kab. Karawang, kab. Garut, kab. Tasikmalaya, kab. Kuningan, kab. Cirebon, kab. Sukabumi, kab. Tasikmalaya, kota Bogor, kab. Bogor, dan kota Bandung (Jawa Barat); Surabaya, Kediri, Nganjuk, Kaweron, Sidoarjo, dan Malang (Jawa Timur); Banyumas, Tegal, Cepu, Batang dan Karanganyar (Jawa Tengah); Kota Tangerang, kab. Tangerang, Serang, Rangkas, dan Tangsel (Banten); Pangkal pinang (Bangka Belitung); Sukawati dan Denpasar (Bali); Padangsidempuan, kota Medan dan Deli Serdang (Sumatera Utara); Kota Padang (Sumatera Barat), Bima, Lombok Barat, Lombok Timur dan Lombok Tengah (NTB); Kampar (Kepulauan Riau); Sinjai dan Bulukumba (Sulawesi Selatan), Kab. Lampung Selatan (Lampung), Sumarorong (Sulawesi Barat), Kendari (Sulawesi Tenggara), Kutai Timur (Kalimantan Timur), Banjar baru, Amuntai Barito Utara dan Hulu Sungai Tengah (Kalimantan Selatan), Malinau (Kalimantan Utara); kota Palangkaraya (Kalimantan Tengah); Pontianak dan Sintang (Kalimantan Barat);

Tingginya agka pengaduan pelaksanaan PJJ mendorong KPAI untuk melakukan kajian PJJ dengan responden siswa dan guru. Selain siswa, guru penting ditanyakan seputar PJJ agar dapat diperoleh kesimpulan yang komprehensif. Kajian berlangsung 13-27 April 2020. Responden adalah para siswa/i yang mengadu ke KPAI dan sebagai pembanding ternyata banyak juga siswa/i yang tidak mengadu, tetapi antusias berpartisipasi mengisi kuesioner.

Hasil Survei

Pertama, Para responden siswa yang berpartisipasi mengisi kuisioner KPAI berjumlah 1700 orang. Berdasarkan jenis kelamin, 67.9% responden berjenis kelamin perempuan dan 32,1% berjenis kelamin laki-laki. Adapun rentang usia responden terbanyak adalah 15-17 tahun sebanyak 63,4%. Berdasarkan jenjang pendidikan, mayoritas merupakan siswa SMA/SMK/MA sebanyak 64.5%. Responden mayoritas memiliki orangtua yang merupakan pekerja harian sebanyak 38% dan urutan kedua terbanyak adalah pekerja bulanan sebanyak 22,4%.

Kedua, Keluhan di pengaduan KPAI terkait pembelajaran jarak jauh (PJJ) muncul dikarenakan keterbatasan kuota, peralatan yang tidak memadai untuk daring, tidak memiliki laptop/Komputer PC, dan beratnya berbagai tugas dengan limit waktu yang sempit. Hal ini sejalan dengan hasil survey, yaitu : mayoritas siswa menggunakan telepon genggam/handphone sebanyak 95,4%, oleh karena itu banyak siswa yang mengaku matanya sakit dan kelelahan karena berjam-jam menatap layar ponsel. Hanya 23,9% siswa menggunakan peralatan berupa laptop dan 2,4% siswa menggunakan computer PC. Data survey juga menunjukkan bahwa 53,6% menyatakan tidak memiliki fasilitas wifi di rumahnya dan 46,4% memiliki fasilitas wifi di rumahnya. Jika ada wifi, maka PJJ dapat berlangsung secara teleconference, kalau tidak maka hanya penugasan demi penugasan yang bisa dilakukan para guru.

Ketiga, Selama PJJ para responden mengaku paling sering menggunakan media daring atau flatformaplikasi berikut ini : sebanyak 65,1% responden menggunakan google classroom; sebanyak 10,4% menggunakan aplikasi WhatsApp dan sisanya 24,5% menggunakan berbagai aplikasi seperti ruang guru, rumah belajar, zoom dan zenius.

Flatform gratis “Rumah belajar” dari Kemdibud tidak diketahui oleh 56,9% responden 56,9% dan hanya 43,1% yang mengetahui. Dari yang mengetahui, 76,6% menyatakan tidak pernah menggunakan karena tidak ada guru yang menugaskan. Sedangkan 23,4% menyatakan menggunakan, karena memang ditugaskan gurunya.

Keempat, menurut 79,9% responden menyatakan bahwa PJJ berlangsung tanpa Interaksi Guru-Siswa sama sekali kecuali memberikan tugas dan menagih tugas saja, tanpa ada interaksi belajar, seperti tanya jawab langsung atau aktivitas guru menjelaskan materi. Hanya 20,1% responden yang menyatakan ada terjadi interaksi antara siswa dengan guru selama PJJ, bentuk interaksi tersebut adalah sebanyak 87,2% responden menyatakan melalui chating, 20,2% menggunakan aplikasi zoom meeting, sedangkan 7,6% lagi menggunakan aplikasi video call WahsApp; dan 5,2% responden menggunakan telepon untuk langsung vbicara dengan gurunya.

Kelima, 73,2% responden merasakan beratnya mengerjakan tugas-tugas dari para guru selama PJJ, namun 26,8% responen mengaku tidak merasakan berat. Adapun bentuk-bentuk penugasan yang paling tidak disukai siswa adalah membuat video sebanyak 55,5%; yang tidak menyukai menjawab soal dalam jumlah yang banyak sebanyak 44,5%, yang tidak menyukai tugas merangkum bab materi yaitu sebanyak 39,4%. Sedangkan urutan terakhir dari tugas yang tidak disukai siswa adalah harus menuliskan soal yang adalam buku cetak sebelum memberikan jawaban sebanyak 25,6%. Terkait waktu mengerjakan tugas yang pendek adalah 1-3 jam sebanyak 44,1%; 3-6 jam sebanyak 34,2%; dan lebih dari 6 jam sehari sebanyak 21,6%. Dalam sehari siswa harus mengerjakan beberapa tugas, sesedikitnya dari 3 bidang studi.

Keenam, Kesulitan Yang Dihadapi Siswa dari 1700 responden sebanyak 77,8% kesulitannya adalah tugas menumpuk karena seluruh guru memberikan tugas dengan waktu yang sempit, belum selesai tugas pertama, sudah datang tugas selanjutnya dari guru yang lain, demikian seterusnya, padahal tugas yang pertama saja belum selesai. Sedangkan 37,1% responen mengeluhkan waktu pengerjaan tugas yang sempit, sehingga membuat siswa kurang istirahat dan kelelahan.

Kesulitan diperparah karena sebanyak 42,2% menurut responden adalah tidak memiliki kuota internet, sehingga sulit jika harus melakukan tatap muka dengan menggunakan aplikasi zoom misalnya, atau sekedar video call. Selain kuota, ternyata 15,6% responden tidak memiliki peralatan PJJ yang memadai seperti laptop atau handphone yang spesifikasi memadai untuk belajar daring.

Ketujuh, PJJ lebih menekankan sebatas pemberian tugas. Menurut 81,8% responden selama PJJ berjalan 4 minggu, ternyata para guru lebih menekankan pada sebatas pemberian tugas, bahkan jarang yang menjelaskan materi, disukusi ataupun Tanya jawab. Menurut 43% responden selama PJJ ada pemberian materi dari guru dengan menggunakan aplikasi zoom meeting, sedangkan 17,9% ada Tanya jawab, baik melalui aplikasi zoom maupun melalui whatsApp dan Video Call. Sedangkan 11,3% responden menyatakan ada diskusi antara guru dan siswa.

Kedelapan, Siswa Tak Senang PJJ. Dari 1700 responden, saat ditanya setelah 4 minggu menjalankan Pembelajaran Jarak jauh (PJJ), apakah senang belajar dari rumah? Ternyata siswa menyatakan tidak senang belajar dari rumah sebanyak 76,7% dan hanya 23,3% menyatakan senang. Adapun alasan yang tidak senang umumnya adalah tugas-tugas yang berat selama PJJ, padahal kalau belajar di sekolah selama ini tidak seberat itu tugasnya. Sedangkan alasan yang senang belajar dari rumah karena tidak perlu bangun terlalu pagi dan tidak perlu pakai seragam sekolah.

Kesembilan, Usulan Siswa untuk PJJ. Anak-anak pengadu melalui pengaduan online KPAI, lalu usulan ini kami tanyakan juga dalam kuisioner siswa yang dipilih oleh 1700 responden, dimana responden bisa memilih lebih dari satu jawaban, adapun hasilnya adalah sebagai berikut :

Kurangi tugas, sehari 1 saja dan penugasan menjawab soal cukup 5 soal (50,9%);
Batas waktu pengumpulan tugas jangan terlalu cepa (47,5%)
Guru jangan hanya memberikan tugas melulu, tetapi harus ada penjelasan secara daring (56,7%)
Guru memberikan materi tertulis yang bisa dipelajari siswa secara mandiri (29,6%)
Guru memberikan informasi tentang wabah covid 19 yang bisa didiskusikan melalui aplikasi whatsApp (23,6%)
Guru dapat memberikan tugas terkait isu wabah covid 19 setelah ada informasi dan diskusi dua arah (point e) sebanyak 16,9%
Para guru seharusnya berkoordinasi penugasan siswa, kalau bisa ada jadwal yang disusun bersama para guru, sehingga penumpukan tugas dan waktu pengerjaan dapat disesuaikan dengan kondisi siswa dan tetap memenuhi hak-hak anak (51,4%)
Usul kepada pemerintah untuk mengratiskan internet, karena PJJ dengan daring membutuhkan kuota yang sangat besar (52,8%)
Project yang pengerjaan butuh waktu dan energy banyak sebaiknya merupakan project kolaborasi beberapa mata pelajaran (30%)

Kesepuluh, Keberatan Pembayaran SPP selama PJJ. Para responden menginginkan adanya pengurangan uang SPP (iuran pendidikan) bulanan karena orangtua mereka juga terdampak covid 19 sehingga terjadi penurunan penghasilan, bahkan ada yang mengalami PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Selain itu, para responden juga berargumentasi bahwa biaya operasional sekolah seperti listrik dan air juga berkurang karena tidak ada kegiatan lagi di sekolah. Adapun hasil datanya adalah sebagai berikut : Tidak mau membayar SPP sebanyak 56,6%; membayar utuh sebanyak 29,1% dan usul membayar separuh sebanyak 14,3%.

Kesebelas, Usulan Sistem Penilaian Kenaikan Kelas selama PJJ, ujian daring akan menjadi masalah besar ketika para siswa tidak memiliki peralatan, memiliki peralatan tetapi tidak memadai, dan tidak mampu membeli kuota internet. Terkait dengan kondisi tersebut maka survey ini meminta para responden memberikan usulannya, yaitu sebagai berikut : setuju, asalkan kuotanya ditanggung oleh sekolah atau pemerintah sebanyak 48,2%; dan Setuju dengan pulsa dibebankan kepada orangtua sebanyak (3%). Adapun yang menyatakan ketidak setujuannya adalah : Tidak setuju, penilaian diambil saja dari penugasan selama belajar dari rumah sebanyak 35,9%; dan Tidak Setuju ujiannya tertulis saja , semua soal diambil dan dikembalikan orangtua ke sekolah sebanyak 12,9%.

Rekomendasi

Dari hasil kajian dan pengaduuan PJJ yang dilakukan, maka KPAI menyampaikan rekomendasi sebagai berikut :

Pertama, Perlu Penetapan Kurikulum Dalam Situasi Darurat Covid 19

KEMDIKBUD dan KEMENAG harus segera menetapkan kurikulum dalam situasi darurat, misalnya memilih materi-materi esensial dan utama saja yang diberikan selama masa PJJ. Materi yang memiliki tingkat kesulitan tinggi dan perlu bimbingan guru secara langsung sebaiknya ditiadakan. Materi yang diujikan dalam kenaikan kelas sebaiknya materi yang sudah dibahas sebelum kebijakan belajar dari rumah. Dengan demikian tidak membebani siswa maupun guru.

KPAI merekomendasikan agar Kemdikbud mengeluarkan peraturan khusus tentang kurikulum dalam situasi darurat. Implementasinya mirip saat kejadian gempa Palu dan Lombok beberapa waktu lalu, yakni sekolah memakai materi ajar sebelum bencana sebagai bahan untuk ujian kenaikan kelas.

Kemdikbud harus segera menetapkan kurikulum sekolah dalam kondisi darurat. Karena jika tidak segera, ketika Dinas Pendidikan menekan guru menyelesaikan kurikulum, maka secara otomatis para guru pasti akan menekan anak-anak didiknya untuk memenuhi tuntutan Dinas Pendidikan tersebut. Anak yang akhirnya menjadi korban. Para guru menyampaikan kepada KPAI bahwa mereka setiap hari wajib lapor hasil penilaian atau kinerja setiap hari, sehingga mereka terpaksa menugaskan siswa setiap setiap hari juga sesuai jadwal bidang studi ybs.

Kedua, Mempertimbangkan Kondisi Anak dan Keluarganya dalam PJJ dan Penilaiannya dalam menerapkan ujian daring

Prinsip belajar jarak jauh wajib mempertimbangkan kondisi siswa yang berbeda-beda, tidak bisa disamakan perlakuannya, karena ada anak yang orangtua tidak masalah dalam penyediaan kuota internet, namun ada anak-anak yang orangtuanya tidak sanggup membeli kuota internet. Ada orangtua yang dapat memfasilitasi anak-anaknya dengan berbagai peralatan sepeti laptop/computer PC dan Handphone, namun ada anak yang menggunakan handphone bergantian dengan orangtuanya. Begitupun dengan penilaian jarak jauh dalam rangka penilaian akhir semester (PAS), guru dan pihak sekolah perlu memperimbangkan hal yang sama, yaitu tidak boleh memberatkan siswa dan orangtua, bermakna, menyenangkan, dan pendidikan kecakapan hidup.

Dinas-dinas Pendidikan dan Kantor-kantor Wilayah Agama dapat berkoordinasi dengan pihak sekolah atau madrasah agar berempati juga kepada para orangtua yang terdampak covid 19, terkait dengan pembayaran iuran SPP bulanan. Karena ada pembiayaan seperti listrik, air dan ekskul yang tidak ada, maka sebaiknya ada penguruangan biaya SPP. Hal ini dapat dibicarakan pihak sekolah dengan komite sekolah. Saling meringankan adalah bentuk kepekaaan dan empati yang dibutuhkan saat ini.

Ketiga, Dalam melaksanakan PJJ, para guru sebaiknya tidak terfokus pada pembelajaran dan penilaian koginitif saja, tetapi harus juga menyeimbangkannya dengan aspek afektif yang berbasis pada pendidikan karakter. Penugasan afektif seharusnya dapat dilakukan, misalnya tugas membantu orangtua di rumah selama belajar dari rumah dan menuliskan laporan singkat untuk menceritakan perbuatan baik apa yang dilakukannya hari itu di rumah. Ini akan mendekatkan hubungan anak dengan keluarga, sekaligus memberikan energy positif di rumah karena saling membantu. Penilaian afektif dapat dilakukan bisa dalam bentuk portofolio.

Keempat, Kemdikbud dan Kemenag harus mendorong para guru untuk menggunakan Flatform Rumah Belajar dan Program Belajar dari Rumah yang disiarkan di Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia (LPP TVRI) sejak Senin (13/4/2020), karena mendapat respons orangtua dan sekolah. Saat tayang, guru juga dapat menugaskan orangtua ikut menyaksikan agar dapat membantu anak memahami tayangan tersebut, terutama anak-anak yang masih usia TK dan SD. Para orangtua ternyata sepakat kalau konten semacam itu perlu diperkaya dan dikemas lebih atraktif dengan durasi lebih panjang serta kualitas siaran yang bagus.

Selain itu, Kemdikbud dan Kemenag perlu mendorong para guru memanfaatkan PJJ dengan TVRI tetapi jangan tugaskan anak kembali merangkum tayangannya, tapi bisa meminta anak membuat pertanyaan untuk didiskusikan dengan guru dan menuliskan kesan yang menarik dari tayangan tersebut. Para guru harus mengubah pemahaman bahwa PJJ sama dengan memberikan tugas melulu dan jangan pernah merasa bersalah memberikan tugas sedikit, yang penting bermakna tugasnya dan anak jadi belajar.

Kelima, KPAI mendorong para guru agar lebih kreatif menjalankan PJJ, tidak focus pada kompetensi akademik semata, kenali dan manfaatkan minat dan potensi anak, sehingga tugas yang diberikan dijalankan dengan total dan penuh semangat. Misalnya, kalau meminta anak SMA/SMK/MA membuat video, maka tugasnya bisa sesuai minat anak-anak, bagi anak-anak yang suka makeup bikin saja tutorial makeup; bagi anak-anak yang suka masak bikin tutorial masak, suka musik coba bikin lagu; bagi anak-anak yang suka debat ajak diskusi tentang keterlibatan swasta dalam hal wabah covid-19; bagi yang suka foto suruh bikin montase beberapa foto; bagi yang hobi olahraga identifikasi kenapa para pemain olahraga juga bisa kena Covid-19, dll.

Bagi anak-anak usia SMP, bisa penugasan dikaitkan dengan pandemi covid 19, misalnya anak-anak dapat diminta mencari tahu antara hand sanitizer dan sabun lebih efektif mana dalam pencegahan; Anak-anak diminta mengamati lingkungan sekitar mengapa masih banyak yang memilih berkerumun disaat penyebaran covid 19 mudah menulari orang dalam kerumanan; Anak-anak dapat ditugaskan menganalisis mengapa kebutuhan akan masker sekarang langka, apa yang menyebabkan kelangkaan tersebut dan dalam hukum ekonomi kondisi itu disebut dengan apa.

Bagi anak-anak usia SD, guru dapat memberikan tugas yang membangkitkan rasa ingin tahu anak, misalnya mengajukan pertanyaan-pertanyaan singkat seperti : (1) apa itu virus; (2) apa itu bakteri; (3) kenapa cuci tangan menghilangkan virus: (4) kenapa virus itu jahat; (5) ada tidak virus baik, kalo ada itu untuk apa.

Keenam, Kolaborasi dan Merampingkan bidang studi. Bidang studi yang beragam dan jumlahnya banyak, menjadi pemicu penugasan yang berat dan menumpuk, untuk itu maka dalam masa PJJ ada baiknya para guru mulai melakukan sinergi dan kolaborasi, misalnya : (1) Beberapa bidang studi dapat melakukan kolaborasi dalam melakukan proses PJJ maupun dalam penugasan yang menantang ; (2) Mengabungkan mata pelajaran yang sejenis menjadi satu segmen, misalnya Agama dan Budi Pekerti, Sosial Humaniora, Sains dan Logika, serta Keahlian dan Kreatifitas. Sehingga jumlah bidang studi menjadi tidak banyak; dan (3) Mengedepankan pendidikan karakter dengan menekankan pembelajaran pada aspek afektif, misalnya penugasan berbuat baik.

Jakarta, 27 April 2020

Susanto, Ketua KPAI
Retno Listyarti, Komisioner KPAI Bidang Pendidikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *