Komite Sekolah Direvitalisasi

 

Min.co.id,Jakarta.- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) nomor 75/2016 tentang Komite Sekolah. Permendikbud itu terbit untuk merevitalisasi peran dan fungsi komite sekolah agar dapat menerapkan prinsip gotong royong, demokrasi, mandiri, profesional, dan akuntabel.

Mendikbud Muhadjir Effendy mengatakan, Permendikbud yang ditetapkan pada 30 Desember 2016 itu bertujuan meningkatkan mutu pelayanan pendidikan oleh satuan pendidikan.

“Jadi, masyarakat dapat ikut serta bergotong royong memajukan pendidikan di sekolah secara demokratis dan akuntabel. Nantinya masyarakat dapat membedakan mana saja yang tergolong sumbangan dan bantuan melalui komite sekolah, pungutan pungutan pendidikan yang sah oleh sekolah dan pungutan liar oleh oknum,” kata Muhadjir di Kantor Kemendikbud, Jakarta, Senin 16 Januari 2017.

Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Hamid Muhammad menambahkan, pendanaan dana sekolah oleh masyarakat juga dijamin dalam UU nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Menurut dia, dalam UU tersebut ditegaskan bahwa pendanaan pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat.

“Komite sekolah bukan hanya melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan tapi juga menindaklanjuti keluhan, saran, kritik, dan aspirasi peserta didik,” ujar Hamid.
Inspektur Jenderal Kemendikbud Daryanto menuturkan, dinas pendidikan di daerah bisa melakukan pengawasan dan mengaudit dana yang digunakan komite sekolah. “Setiap bulan akan ada dokumen yang harus ditandatangani oleh komite sekolah, kepala sekolah yang menegaskan di sekolah tersebut tak ada pungutan liar. Dokumen semacam pakta integritas,” ujarnya.

Staf Ahli Mendikbud Bidang Regulasi Chatarina Maulian Girsang menyatakan, latar belakang dari Permendikbud itu berawal dari niatan baik pemerintah untuk meningkatkan prinsip transparansi dan akuntabilitas di tingkat satuan pendidikan melalui peran serta masyarakat.

“Jadi, komite sekolah memiliki rambu-rambu jelas dalam menjalankan tugas dan fungsinya,” katanya.

Ia menjelaskan, Permendikbud itu juga menegaskan perbedaan antara bantuan, sumbangan, dan pungutan. “Bantuan dan sumbangan itu tidak memaksa. Komite sekolah tidak meminta dan tak selalu berupa uang, bisa barang atau jasa. Kalau pungutan, itu seperti iuran SPP di tingkat SD dan SMP. Itu tidak boleh. Pungutan itu sudah pasti uang dan besarannya ditetapkan oleh komite sekolah atau sekolah,” katanya.

Anggota komite sekolah maksimal 15 orang dan paling sedikit 5 orang. Anggotanya berasal dari orangtua wali yang masih aktif di sekolah bersangkutan paling banyak 50 persen, tokoh masyarakat maksimal 30 persen dan pakar pendidikan maksimal 30 persen. Kualifikasi tokoh masyarakat yang boleh menjadi anggota komite sekolah yakni memiliki pekerjaan dan menjadi panutan masyarakat setempat dan bukan pengurus partai politik.

Sementara kategori pakar pendidikan yakni pensiunan tenaga pendidik dan orang yang memiliki pengalaman di bidang pendidikan.

“Pengawas sekolah sudah memiliki mekanisme pengawasan untuk mengawasi penggunaan atas hasil penggalangan dana dan sumber daya pendidikan di sekolah. Masyarakat juga dapat melaporkan praktik pungutan liar ke inspektorat,” kata Daryanto.(PR/red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *