Tutupnya gerai-gerai Lotus bukan ihwal cerita baru dalam jagat bisnis retail khususnya department store di Indonesia. Pada September 2017, pengunjung mengantre diskon besar-besaran jelang department store milik Grup Lippo, Matahari itu menutup gerainya di Pasaraya Manggarai dan Blok M, Jakarta. Selain Matahari dan Lotus, gerai department store lainnya Ramayana juga ditutup di beberapa lokasi termasuk di kawasan Blok M.
Penutupan operasi suatu bisnis tentu bukan keputusan gegabah oleh para manajemennya. Bisnis department store MAPI misalnya, sudah mengalami penurunan pendapatan sejak tahun lalu. Sebelum 2014, pendapatan MAPI dari segmen department store terbilang kinclong. Pendapatan department store pada 2013 mencapai Rp2,37 triliun atau naik 21 persen. Setelah itu, mengalami perlambatan pendapatan hingga puncaknya hanya tumbuh 6 persen pada 2015.
Tahun lalu, department store MAPI malah tumbuh minus 3 persen hanya Rp2,68 triliun. MAPI memiliki unit usaha department store dari PT Panen Lestari Internusa (Sogo), PT Benua Hamparan Luas (Debenhams), PT Panen Selaras Intibuana (Seibu), PT Alun Alun Indonesia Kreasi (Alun-alun Indonesia), PT Panen GL Indonesia (Galeries Lafayette), dan PT Swalayan Sukses Abadi (Foodhall).
Sialnya, tren penurunan pendapatan terus berlanjut hingga semester I-2017. Pendapatan hanya mencapai Rp1,35 triliun, turun 2 persen dari periode yang sama tahun lalu. Segmen department store MAPI memang menyusut, tapi total pendapatan MAPI tahun lalu menembus Rp9,71 triliun atau naik 14 persen. Semester I-2017, pertumbuhan total penjualan malah naik 20 persen menjadi Rp4,42 triliun. Bisnis kafe dan restoran memang menopang dari restoran dibandingkan department store yang sedang terpuruk.
Rontoknya bisnis department store MAPI juga terjadi pada PT Matahari Department Store Tbk. (LPPF). Tren pertumbuhan pendapatan LPPF sejak 2013-2017 juga mengalami perlambatan yang cukup dalam. Pada 2013, pertumbuhan LPPF masih 27 persen senilai Rp4,04 triliun. Pertumbuhan penjualan justru makin melambat pada tahun berikutnya semenjak 2014-2015, masing-masing menjadi 21 persen, 17 persen. Titik terendah pertumbuhan terjadi pada tahun lalu, hanya tumbuh 12 persen tahun lalu dengan pendapatan Rp6,43 triliun.
Sementara itu, PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk. (RALS), pendapatan pengelola gerai-gerai Ramayana ini dari bisnis pakaian dan aksesoris masih tumbuh. Pada tahun lalu tumbuh 11 persen di 2016, dengan pendapatan pakaian dan aksesoris Rp2,93 triliun, meski pada 2014 dan 2015 sempat mengalami penurunan pendapatan masing-masing Rp2,71 triliun dan Rp2,63 triliun. Pada semester I-2017 pendapatan bisnis pakaian dan aksesoris tumbuh 13 persen sebesar Rp1,86 triliun dibandingkan semester I-2016. Pendapatan Ramayana lainnya disumbang dari bisnis swalayan yang kini trennya sedang menurun.
“Pendapatan MAPI, LPPF dan RALS memang sama-sama tertekan. Namun, kinerja RALS agak sedikit positif karena gerainya banyak di luar Jawa. Persaingan di Jawa sangat ketat,” ujar Kiswoyo Adi Joe, analis dari Recapital Sekuritas.
Banyak faktor yang bisa menyebabkan bisnis department store terpuruk, mulai dari daya beli yang menurun, pola belanja yang berubah, jual beli daring hingga persaingan bisnis ritel yang ketat.
Dari sisi pengeluaran konsumsi rumah tangga misalnya, aspek penggerak ekonomi ini memang melambat sejak 2014. Pada tahun itu konsumsi rumah tangga tercatat tumbuh 5,60 persen. Pada tahun berikutnya, pengeluaran konsumsi rumah tangga melambat dengan hanya tumbuh 4,99 persen. Namun, pada 2016, membaik ke level 5,01 persen. Saat bersamaan bisnis ritel juga mengalami perlambatan sejak 2013. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mencatat pada semester I-2017 industri ritel hanya tumbuh 3,7 persen, padahal tahun sebelumnya sempat di atas 10 persen.
“Secara statistik, konsumsi rumah tangga tumbuh. Namun, di lapangan, konsumsi masyarakat itu menurun. Penjualan eceran atau ritel juga jadi melambat,” kata Enny Sri Hartati, Ekonom Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) kepada Tirto.
Faktor menggeliatnya transaksi online juga sering dikaitkan punya dampak pada penjualan ritel offline. Namun, bagi pengusaha ritel, nilai transaksi ritel online masih kecil. Namun, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N. Mandey berpendapat jual beli daring memang bagian dari masa depan pasar ritel. Ia mendorong para pelaku ritel untuk juga masuk ke ranah digital yang kini makin berkembang.
“Untuk saat ini, transaksi online belum berpengaruh terhadap transaksi penjualan ritel offline. Dari total nilai kapitalisasi pasar retail nasional senilai US$320 miliar dolar, transaksi online baru menyumbang sekitar 1,4 persen,” kata Roy kepada Tirto.
Pelaku ritel juga harus mampu melihat perubahan perilaku konsumen. Model produk terbaru khususnya model pakaian yang melekat pada layanan department store menentukan pilihan konsumen di tengah ragam tawaran produk secara online yang makin deras. Produk fesyen yang tidak update alias gaya lama juga menjadi persoalan bagi department store. Dengan produk yang tidak kekinian tentunya tidak menarik bagi konsumen.
“Sebagian persoalan lesunya penjualan department store disebabkan model pakaian yang masih old school. Sehingga, upaya-upaya promosi yang dilakukan juga tidak akan berdampak besar,” kata Craig Johnson, Head of Research dari perusahaan riset Customer Growth Partners.