Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila

Opini-Min.co.id-Membuka lembaran sejarah Indonesia dan dari sejumlah pengalaman yang ada, proses “menjadi Indonesia” yang telah dilalui bersama, seharusnya tidak lagi memperdebatkan bentuk negara serta sistem pemerintahan yang tepat bagi negeri ini kembali.

BENTUK NEGARA INDONESIA SUDAH SELESAI.

Sebagai perenungan bersama seksama ihwal hakikat Pancasila, dimana Pancasila terdiri atas lima sila yang sangat memungkinkan bagi negeri ini, dimana negeri ini terdiri dari putra/i bangsa yang memiliki tingkat kemajemukan yang sangat tinggi, yang sejak dahulu ditekankan untuk hidup rukun, saling mengisi, saling menghormati, tenggang rasa, tepo sliro, dan bertoleransi satu dengan yang lain.

Dasar negara kita yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan bahwa Indonesia tidak memisahkan hubungan agama dengan kekuasaan. Kekuasaan harus dijalankan dengan landasan serta spirit nilai-nilai agama. Inilah makna berketuhanan. Sebagaimana dikatakan Al-Ghazali (1988) bahwa agama dan kekuasaan merupakan saudara kembar. Ia bagaikan sekeping mata uang. Agama merupakan fondasi, sedangkan penguasa adalah penjaganya. Apa-apa yang tidak ada fondasinya, maka ia akan runtuh. Demikian pula, apa saja yang tidak memiliki penjaga, maka ia akan musnah

Konsensus nasional dalam bangunan kebangsaan bukan merupakan sikap oportunisme politik, tapi sikap ini terlahir dari kesadaran sejati yang didapat dari realitas historis, budaya, tradisi bangsa, dan ajaran agama yang kita yakini.

Jika hendak mencermati lebih dalam, diskusi soal hubungan Islam yang melahirkan nasionalisme telah intens dilakukan diantaranya oleh :

■ HOS Tjokroaminoto,
■ Hadratussyaikh
■ KH M Hasyim Asyari, dan
■ KH Abdul Wahab Hasbullah.

Ketiga bapak bangsa tersebut tercatat sejak tahun 1919 telah melakukan kajian-kajian mendalam diskursif tentang pandangan Islam ihwal nasionalisme.
Sehingga seharusnya sudah selesai dan tidak perlu mundur memperdebatkan kembali

Karena seharusnya kesadaran nasionalisme adalah merupakan suara dan gerakan yang muncul dari dalam nurani bangsa Indonesia.
Ia bersifat transenden dan esoterik.

Nasionalisme bangsa kita bukan lahir dari hafalan serangkaian teori rumit tentang konsep kebangsaan, kontrak sosial, dan sebagainya. Sebaliknya nasionalisme itu tulus lahir dari rasa memiliki dan mencintai ibu pertiwi.

Dan harus diingat bagi umat Islam bahwa :

Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, prinsip musyawarah dan keadilan merupakan intisari ajaran ISLAM

Sehinga NKRI dengan ideologi PANCASILA sudah menjawab untuk berkibar di negeri ini sesuai ajaran agama yang diakui di negeri ini dan khususnya untuk agama Islam

Sehingga sejatinya dengan konsep PANCASILA spirit agama sudah diwejantahkan dalam pelbagai peraturan dan perundang-undangan. Napas serta semangat perundang-undangan negeri ini sudah sangat jelas bersumber dari ajaran dan nilai-nilai agama.

Sebagai ilustrasi misalnya :

■ UU Peradilan Agama,
■ Kompilasi Hukum Islam,
■ UU Pengelolaan Zakat, dan juga
■ UU Penyelenggaraan Haji,

Maka seharusnya dengan menjalankan undang-undang tersebut secara substantif sejatinya sama saja dengan menjalankan syariat Islam.

Dengan demikian, dalam bahasa lain, Indonesia sesungguhnya telah bersyariat tanpa harus berkhilafah.
Hanya saja semoga dapat dijalankan dengan sebenar-benarnya.

Sebenarnya ada hal yang lebih urgensi masalah besar negeri ini adalah bagaimana Indonesia benar-benar dapat melaksanakan ideologi PANCASILA yang sangat teramat cantik agar tidak menjadi utopis belaka
Atau hanya sekedar hiasan dinding yang dipajang di dinding sekolah-sekolah dan rumah di negeri Indonesia tercinta

Serta masalah yang perlu diurus kembali adalah mengembalikan kembali UUD 45 teks asli, karena sejak Reformasi UUD 45 telah diamandemen secara kebablasan bahkan
UUD 45 hasil amandemen yang kini sudah sangat keluar dari rel serta membingungkan karena sangat tidak sejalan lagi dengan mukadimah dan kehilangan roh UUD 1945 itu sendiri.

Dimana UUD 45 saat ini bertentangan antara pembukaan dan batang tubuhnya. Serta juga bertentangan dengan filosofi struktur dan sistem kenegaraannya, sebagai salah satu contoh lihat :
pasal 22E UUD 1945 yang mengatur tentang pemilihan Umum juga menunjukkan kontradiksi, dimana proses demokrasi berprinsip liberalisme-individualisme, karena semua dilaksanakan secara langsung berdasarkan pada prinsip matematis tanpa memberi ruang musyawarah dan mufakat.

Penulis Oleh: Nurul Candrasari Masjkuri
Dewan Pendiri Kaukus Perempuan Politik Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *