Min.co.id – Morotai menyimpan peninggalan sejarah puing dan alat tempur dari Perang Dunia II serta memiliki keindahan alam bawah laut dengan keanekaragaman biota dan terumbu karang.
Sejumlah wilayah Indonesia bagian timur menjadi saksi bisu berkecamuknya Perang Dunia II, terutama perseteruan pasukan Sekutu dengan tentara Jepang dalam menguasai kawasan Asia Pasifik. Salah satunya adalah sebuah pulau di sebelah utara Pulau Halmahera, Provinsi Maluku Utara. Namanya Pulau Morotai, tercatat dalam sejarah dunia ketika menjadi palagan Pasifik (Pacific Theatre) militer Jepang dengan sekutu.
Pulau seluas 2.330 kilometer persegi ini sebagian wilayahnya masih tertutup hutan lebat. Semula tentara Jepang menguasai pulau ini pada 1942 dengan membangun pangkalan militer, termasuk landasan udara di sekitar Pantai Daruba.
Morotai menjadi pintu masuk Jepang sebagai pintu masuk menguasai wilayah Hindia Belanda, Filipina, dan sebagian Malaysia. Terlebih setelah peristiwa penyerangan pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii, dan Clark, Filipina, pada 8 Desember 1941 yang menyulut amarah Negeri Pam Sam.
Sejarawan Robert Ross Smith dalam The Approach to The Philippines terbitan tahun 1953 mengungkapkan bahwa dalam sebuah rapat militer AS pada Juli 1944 di bawah pimpinan mantan Kepala Staf Angkatan Darat Douglas MacArthur di Hawaii, nama Morotai masuk dalam daftar lokasi untuk direbut dari tangan Jepang.
Ini sebagai tindak lanjut perintah Presiden Franklin Roosevelt kepada MacArthur beberapa hari sebelumnya. MacArthur, Panglima Tertinggi AS untuk kawasan Pasifik Barat Daya, memimpin pasukannya memasuki Morotai dari Biak pada 15 September 1994 lewat Operasi Tradewind.
Dengan kekuatan 57.020 pasukan gabungan bersama militer Inggris, Australia, dan Belanda, MacArthur berhasil memukul mundur ratusan prajurit Jepang lewat peperangan yang berlangsung hingga 4 Oktober 1994. Ratusan prajurit dari kedua pihak menjadi korban. Begitu pula dengan nasib alat-alat tempurnya.
Ratusan alat perang yang digunakan seperti kapal perang, kapal amfibi, kapal selam, pesawat tempur, tank, serta mobil jip rusak berat. Ratusan selongsong mortir, peluru baik bekas pakai atau yang masih aktif juga ditemukan di Morotai.

Peperangan di Morotai juga menyisakan peninggalan berupa puing-puing bangunan pangkalan militer milik Jepang dan Sekutu seperti tujuh landasan pesawat terbang, dermaga militer, gua (bunker) pertahanan, dan pemakaman para prajurit yang gugur.
Ada juga peninggalan tempat tinggal MacArthur dan tempat persembunyian Teruo Nakamura, prajurit Jepang yang ditemukan di hutan Morotai pada 1974.
Bahkan sisa-sisa kenangan masa perang masih tersimpan hingga di bawah laut Morotai. Ini karena setelah Jepang kalah, semua barang dibuang ke laut. Benda-benda seperti tank, pesawat tempur, maupun jeep ditemukan di kedalaman 15-40 meter.
Kita bisa melihat Bristol Beaufort, bangkai pesawat pembom buatan Inggris yang digunakan militer Australia, di kedalaman 40 meter. Lokasinya di lepas pantai Desa Wawama, selatan Pulau Morotai.

Di perairan Mira ada bangkai kapal karang dan di Buho Buho serta dekat Pulau Dodola yang eksotis terdapat bangkai pesawat tempur, Bristol Beaufighter. Sedangkan di perairan Pulau Zum Zum ada bangkai kapal selam Jepang. Kurang lebih ada 25 bangkai pesawat atau kapal tempur yang karam dan tersebar di 25 titik perairan Morotai.
Karena itu pada 2014 pemerintah meresmikan Museum Perang Dunia II di Pulau Morotai. Sebagian besar koleksi di museum, merupakan berbagai barang peninggalan yang sebelumnya disita dari masyarakat.
Sisa peninggalan perang itu termasuk dua unit tank amfibi. Lokasi museum Perang Dunia II terbilang sangat strategis, sebab berdekatan dengan akses ke bandara di Pitu dan berada tepat di bibir pantai menghadap ke Samudera Pasifik.
Bali Baru
Pulau berjuluk “Mutiara di Bibir Pasifik” ini merupakan sebuah kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Halmahera Utara, pada 29 Oktober 2008. Kabupaten Pulau Morotai memiliki 33 pulau besar dan kecil dengan 7 pulau dihuni dan 26 sisanya tidak berpenghuni.
Morotai tak hanya dikenal sebagai bekas pangkalan militer Jepang dan Pasukan Sekutu di masa Perang Dunia II saja serta bekas-bekas peninggalannya. Kekayaaan Kepulauan Morotai lebih dari itu. Yakni, kekayaan alam bawah laut dan keanekaragaman biota lautnya yang tak perlu diragukan lagi keindahannya.
Ada 28 titik penyelaman di sekitar Morotai untuk dapat menikmati keindahan bawah laut termasuk kecantikan terumbu karangnya. Belum lagi keindahan pulau-pulau dengan pantai berpasir putih serta keunikan lainnya.
Misalnya, terdapat pasir putih sepanjang 500 meter yang menghubungkan Pulau Dodola Besar dengan Dodola Kecil. Seolah seperti jalan, bentangan pasir putih ini dapat dilihat dengan mudah ketika air sedang surut.
Keistimewaan Morotai dengan wisata sejarah dan wisata alamnya itu menjadi alasan pemerintah pada 2014 menetapkannya sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata melalui Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2014 yang diterbitkan pada 30 Juni 2014.
Pemerintah membangun sebuah kawasan khusus pendukung pariwisata Morotai di atas lahan seluas 1.101,76 ha. Setelah itu, pada 2016 Pulau Morotai ditetapkan sebagai salah satu dari 10 destinasi wisata utama di Indonesia atau 10 “Bali Baru”.
Ketika meresmikan KEK Morotai, 1 April 2019, Presiden Joko Widodo menargetkan Pulau Morotai mampu menarik investasi hingga Rp37,24 triliun dan menyerap 30.000 tenaga kerja hingga 2025 dari sektor pariwisata dan perikanan.
Untuk mewujudkan pencapaian tersebut, pemerintah telah membangun sarana pendukungnya. Salah satunya, bandar udara komersial memanfaatkan bekas landasan udara milik Pasukan Sekutu di Pitu, Desa Wawama.
Bandara Leo Wattimena diresmikan pada 18 Maret 2016. Kepala Unit Pengelola Bandara Syamsuddin Soleman menyebutkan, Bandara Leo Wattimena masuk kategori Kelas C dengan sebuah landasan pacu sepanjang 2.800 meter dengan lebar 45 meter, dilengkapi terminal penumpang, apron, dan taxi way.
Bupati Pulau Morotai, Benny Laos mengatakan, Bandara Leo Wattimena saat ini sudah bisa didarati pesawat sekelas Boeing 737-500. Ia telah mengusulkan kepada pemerintah pusat agar Bandara Leo Wattimena ditingkatkan sebagai bandara internasional. Termasuk memperpanjang landasan pacu hingga 4.500 meter dengan lebar 50 meter agar bisa didarati pesawat berbadan lebar.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Direktorat Jenderal Bina Marga juga telah merampungkan pembangunan infrastruktur dasar berupa jalan lingkar Morotai ruas Sofi menuju Wayabula sepanjang enam kilometer (km) dengan biaya sebesar Rp32 miliar. Tidak itu saja, ada pula proyek infrastruktur berupa peningkatan kualitas jalan ruas batas kota Daruba-Daeo/Sangowo-Bere Bere-Sofi-Daruba-Wayabula sepanjang 195,29 km dengan anggaran Rp10,43 miliar.
Selanjutnya, pembangunan dan penggantian enam jembatan dengan biaya sebesar Rp231,43 miliar di antaranya jembatan Bere Bere-Sofi sepanjang 152 meter (m) dan lebar 7 m, jembatan Sofi-Wayabula 1 (125,80 m), Sofi-Wayabula 2 (100 m), Sofi-Wayabula 3 (87 m), dan Sofi-Wayabula 4 (125 m).
Sejumlah resor berbentuk villa dan kondominium hotel (kondotel) juga telah berdiri di sekitar Pulau Morotai untuk mengakomodasi keperluan para wisatawan domestik dan asing yang berkunjung. Setiap tahunnya terjadi peningkatan kunjungan wisata ke Morotai.
Berdasarkan data Dinas Pariwisata Kabupaten Pulau Morotai, pada 2015, turis yang berkunjung ke Morotai baru mencapai 3.733 orang terdiri 3.254 orang domestik dan 479 asing. Pada tahun 2016, jumlah turis naik menjadi 5.792 orang (5.255 domestik dan 437 asing), 2017 sebanyak 13.129 orang (12.545 domestik dan 584 asing) dan sebanyak 15.044 orang (14.130 domestik dan 914 asing).
Pada 2019 meningkat menjadi 29.101 orang terdiri 28.590 turis domestik dan 511 turis asing. Dan sebelum pandemi Covid-19, pemerintah setempat sempat menargetkan kenaikan jumlah kunjungan pada 2020 menjadi 31.000 orang termasuk 4.000 turis asing. (Sumber: indonesia.go.id)