Min.co.id-Beberapa minggu lalu provinsi Sumatera Barat menjadi topik hangat setelah muncul kesan diragukan dukungannya pada Negara Pancasila. Perdebatan itu menimbulkan polemik. Saya mengusulkan agar Provinsi Sumatera Barat diganti nama saja menjadi Provinsi Minangkabau.
Wacana mengubah nama Provinsi “Sumatera Barat” menjadi Provinsi “Minangkabau” sebenarnya bukan hal baru, bahkan sudah muncul sejak 1970-an. Namun gagasan itu kini semakin relevan. Meskipun lahir di tanah Jawa, sebagai keturunan Minang saya setuju usulan penggantian nama tersebut. Nama “Minangkabau” memang jauh lebih tepat dipakai jika ditinjau dari sisi sejarah dan kebudayaan. Apalagi, secara demografis, 88,35 persen masyarakat yang hidup di Sumatera Barat memang berasal dari etnis Minangkabau.
Usulan perubahan tersebut bukan didorong sentimen etnisitas yang dangkal. Kita tahu, nama Aceh, Papua, atau Bali, juga sejak lama telah digunakan sebagai nama provinsi. Dan itu ada hubungannya dengan keistimewaan sejarah, budaya, dan identitas yang melekat pada etnis bersangkutan. Saya menilai, masyarakat Minangkabau juga layak mendapatkan kehormatan serupa itu.
Jika diuraikan, setidaknya ada beberapa alasan utama kenapa nama Minangkabau pantas digunakan untuk menggantikan nama Sumatera Barat.
Pertama, nama Minangkabau lebih mewakili identitas, kebudayaan, serta kesejarahan masyarakat yang ada di Sumatera Barat. Jadi, bobot nama “Minangkabau” jauh lebih besar dibanding nama “Sumatera Barat”. Sebab, kalau kita bicara Minangkabau, maka tarikan sejarahnya merentang hingga jauh ke belakang, jauh sebelum Indonesia lahir. Sementara, kalau kita bicara “Sumatera Barat”, asosiasinya hanya terkait wilayah administratif saja.
Ketiga, besarnya kiprah orang Minangkabau dalam sejarah Republik. Secara demografis, jumlah etnis Minangkabau di Indonesia hanya berkisar sekitar 3 persen dari total jumlah penduduk. Namun, peran orang Minangkabau dalam sejarah Indonesia jauh lebih besar dari itu.
Di bidang politik, misalnya, peran dan dominasi orang Minang dalam masa pergerakan kemerdekaan Indonesia tidaklah terbantahkan, terutama dalam periode 1920-an hingga 1960-an. Dari empat orang Bapak Republik yang namanya paling sering disebut, yaitu Soekarno, Hatta, Sjahrir dan Tan Malaka, tiga di antaranya adalah orang Minang. Mohammad Hatta adalah Proklamator RI bersama Soekarno.
Sesudah Indonesia merdeka, satu orang Minang pernah menjabat Wakil Presiden RI (Mohammad Hatta), empat orang jadi Perdana Menteri (Sjahrir, Hatta, Abdoel Halim, Natsir), satu orang menjadi Presiden RI di bawah Republik Indonesia Serikat (Mr. Asaat), dan banyak lagi posisi lainnya. Menurut Crawford Young, pada periode 1945 hingga 1970, sekitar 14 persen anggota kabinet diisi oleh orang-orang Minang.
Kalau hari ini orang teriak-teriak “NKRI Harga Mati”, jangan lupa, orang yang mengusulkan mosi integral, yaitu mempersatukan kembali wilayah NKRI yang tercerai-berai ke dalam sejumlah negara bagian, itu juga orang Minang. Namanya Mohammad Natsir.
Semua itu menunjukkan besarnya pengaruh dan sumbangsih orang Minang terhadap sejarah politik kita.
Keempat, orang Minangkabau punya sumbangan besar terhadap pembentukan bahasa persatuan. Apa yang hari ini kita sebut sebagai sastra Indonesia, yang telah memelihara dan mengembangkan bahasa Indonesia, pada awal abad ke-20 didominasi oleh orang-orang Minang. Di tangan merekalah bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang hingga menjadi bentuknya yang kita kenal sekarang. Beberapa sastrawan Minang kenamaan bahasa adalah Abdoel Moeis, Marah Roesli, Soetan Takdir Alisjahbana, Idroes, Chairil Anwar, Hamka, ataupun Ali Akbar Navis. Menurut Maman Mahayana, dari 100 novel Indonesia modern yang terbit antara tahun 1920-1990, 33 di antaranya merupakan karya sastrawan Minang. Bahkan Pujangga Baru lahir di Bukittinggi.
Kita pernah mengubah nama Ujung Pandang menjadi Makassar, nama yang lebih dekat dengan identitas masyarakat setempat. Nama resmi Aceh bahkan pernah beberapa kali diubah. Begitu juga Irian Jaya diganti nama dengan Papua di zaman Presiden Abdurrahman Wahid. Sehingga, usulan perubahan nama “Sumatera Barat” menjadi “Minangkabau” merupakan hal yang lumrah dan lazim.
Dr. Fadli Zon, M.Sc.