Min.co.id ~ Jakarta ~ Tradisi tahlilan, yang telah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Muslim di Indonesia, khususnya suku Jawa, menyimpan makna spiritual mendalam sebagai doa dan penghormatan bagi mereka yang telah berpulang.
Namun, dalam era modern ini, tradisi tersebut tak luput dari sorotan terkait tantangan sosial dan adaptasi zaman.
Tahlilan biasanya dilaksanakan pada hari-hari tertentu pasca kematian, seperti hari pertama hingga hari ketujuh, hari ke-40, ke-100, hingga ke seribu. Selain menjadi ajang doa bersama, momen ini juga menjadi simbol silaturahmi dan kebersamaan antarwarga. Namun, di balik khidmatnya ritual ini, muncul perdebatan mengenai relevansi dan penerapannya dalam konteks modern.
Tahlilan menjadi cara masyarakat lokal memadukan ajaran agama dengan kearifan budaya. Doa-doa yang dilantunkan dianggap sebagai bentuk amal jariyah, sementara pertemuan keluarga besar dan tetangga menjadi ajang mempererat hubungan sosial.
Namun, tradisi ini juga kerap diwarnai tekanan sosial. Stigma terhadap keluarga yang tidak melaksanakan tahlilan menjadi fenomena yang mengusik, terutama bagi mereka yang mengalami keterbatasan finansial.
“Ada keluarga yang merasa malu jika tidak mengadakan tahlilan, meskipun mereka kesulitan. Padahal, esensinya bukan pada kemeriahan, tetapi pada doa yang tulus,” ungkap Ibu Siti, seorang warga di Yogyakarta.
Beberapa pihak menyoroti tahlilan sebagai tradisi yang bukan bagian wajib dari ajaran Islam. Nahdlatul Ulama (NU) sendiri menegaskan bahwa tahlilan adalah amalan opsional, bukan kewajiban.
“Yang penting adalah doa untuk almarhum. Itu bisa dilakukan secara sederhana tanpa memberatkan,” ujar seorang tokoh NU
Selain itu, faktor ekonomi sering menjadi penghalang bagi keluarga untuk melaksanakan tahlilan sesuai harapan masyarakat.
“Kami tidak bisa memaksa semua keluarga mengikuti tradisi ini dengan cara yang sama. Penting bagi masyarakat untuk lebih toleran dan memahami kondisi sesama,” tambahnya.
Beberapa daerah mulai memperkenalkan cara baru dalam melaksanakan tahlilan. Ada yang mengurangi jumlah hari pelaksanaan, ada pula yang mengalihkan fokus pada doa bersama tanpa menyediakan hidangan mewah. Pendekatan ini diharapkan dapat menjaga tradisi tanpa membebani keluarga yang sedang berduka.
“Misalnya, doa bersama dengan membawa makanan masing-masing. Dengan begitu, kebersamaan tetap terjaga tanpa memaksa keluarga menyediakan banyak biaya,” saran seorang tokoh masyarakat di Jawa Timur.
Tahlilan adalah cerminan harmoni antara agama dan budaya lokal. Agar tradisi ini tetap relevan dan bermakna, diperlukan pemahaman yang lebih mendalam tentang esensinya.
Dengan pendekatan yang fleksibel dan inklusif, tahlilan dapat terus menjadi tradisi yang menenangkan jiwa, mempererat hubungan sosial, dan beradaptasi dengan kebutuhan zaman.
Bagi masyarakat Indonesia, tahlilan bukan sekadar ritual, melainkan juga warisan yang mengajarkan kebersamaan, penghormatan, dan cinta terhadap sesama. Dengan reformasi yang bijak, tradisi ini akan terus hidup dalam harmoni di tengah dinamika modernitas.(*)
Sumber : wikipedia Redaktur : Achmad