Min.co.id,Surabaya: Tanah wakaf mempunyai nilai ekonomi tinggi jika dimanfaatkan untuk kegiatan produktif. Sayangnya, dari 430 ribu hektare (ha) tanah wakaf yang ada di Indonesia, baru 62 persen yang memiliki sertifikat.
Hal inilah yang menjadi kendala pemanfaatan tanah wakaf sehingga belum optimal. “Padahal, banyak sekali pengelolaan wakaf yang sifatnya produktif. Dari wakaf itu, masyarakat bisa memanfaatkannya,” kata Ketua Divisi Luar Negeri Badan Wakaf Indonesia (BWI) Muhammad Lutfhi, kepada wartawan dalam acara Indonesia Sharia Economic Festival ke-4 yang berlangsung di Surabaya.
Menurut dia, tanah wakaf yang ada di Indonesia selama ini memang banyak diperuntukkan masjid, sekolah, kuburan, dan panti asuhan. Padahal, kata Lutfi, wakaf bisa dimanfaatkan untuk hal yang bersifat produktif, seperti yang diajarkan Nabi Muhammad SAW.
Misalnya, pernah ada yang mewakafkan pohon kurma yang siap panen untuk masyarakat sekitar. “Di negara-negara lain seperti Oman, Bosnia, bahkan Selandia Baru, sudah melaksanakan wakaf yang bersifat produktif seperti ini.”
Meski demikian, Lutfi mengakui, sudah ada umat yang mewakafkan tanah yang sifatnya produktif. “Di Sumatera ada wakif (orang yang mewakafkan) mewakafkan perkebunan sawitnya. Ini yang kita dorong terus. Untuk itu, kami bekerja sama dengan Bank Indonesia untuk membuat aturan tata kelola wakaf,” ujarnya.
Deputi Gubernur BI Rosmaya Hadi mengatakan wakaf bisa mengatasi permasalahan kesenjangan ekonomi dan mengurangi kemiskinan bila dikelola dengan baik.
Dia mencontohkan di Selandia Baru, tanah wakaf ada yang dikelola untuk peternakan domba yang hasilnya dapat dinikmati masyarakat.
Urus Sertifikat
Menurut catatan BWI, ada 430 ha tanah wakaf dengan nilai sekitar Rp21 triliun. Namun, baru 62 persen yang sudah memiliki sertifikat tanah. Tanah-tanah wakaf ini belum maksimal dikelola agar produktif.
“Ini yang sedang kita usahakan agar ada nilai produktifnya” kata Divisi Pengelolaan dan Pengembangan BWI Iwan Agustiawan Fuad.
Menurut penuturan Iwan, tanah wakaf tidak boleh dijual. Akan tetapi, bangunan bisa didirikan di atasnya dengan hak guna bangunan selama 50-70 tahun.
“Ini yang sedang kami maksimalkan bekerja sama dengan BI,” ujarnya.
Menurut Iwan, pemanfaatan tanah wakaf kerap terkendala sertifikasi tanah. Hal ini, kata dia, salah satunya disebabkan keterbatasan kompetensi pengelola wakaf.
Dia mencontohkan seseorang mewakafkan kebun sawit seluas 200 ha di Kalimantan kepada seorang ustaz. Sayangnya, sang ustaz kurang menyadari pentingnya sertifikat serta memiliki kemampuan finansial yang terbatas.
Sementara itu, pembuatan sertifikatnya serta pajak bumi bangunan yang harus dibayar mencapai Rp75 juta sehingga tanah tersebut terbengkalai.
Saat ini, BWI terus mendorong setiap tanah wakaf agar memiliki sertifikat sehingga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan produktif. Setiap tahun, BWI mengalokasikan sejumlah anggaran untuk membantu pengurusan sertifikatnya.
sumber:MTVN