Min.co.id-Jakarta-Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Generasi menyoroti permasalahan anak-anak yang makin menurun minat sekolahnya. Termasuk persoalan zonasi dan kekerasan yang terjadi pada siswa.
Direktur Ekekutif LPA Generasi, Ena Nurjanah mengatakn, saat ini angka partisipasi kasar (APK) siswa yang bersekolah semakin menurun seiring meningkatnya jenjang pendidikan.
“Ini menandakan semakin banyak anak-anak yang tidak bersekolah dan tidak mampu meraih jenjang pendidikan lebih tinggi,” kata Ena dalam sebuah diskusi bertajuk “PR Pendidkan di Hari Anak” di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (20/7/2019).
Ena meminta pemerintah tidak berpuas diri dengan data-data APK. Pasalnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 tentang pendidikan menunjukan, Angka Partisipasi Kasar masih jauh dari target Rescana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang berakhir di tahun 2019.
“Melihat data yang ada menunjukkan bahwa wajib belajar sembilan tahun hingga saat ini belum tuntas,” katanya.
Kondis ini sesungguhnya semakin memperberat upaya mengejar ketertinggalan menjadi wajib belajar 12 tahun sebagaimana yang menjadi target Sustainable Development Goal (5DGs) tahun 2030 yaitu menjamin kualitas pendidikan yang inklusif dan merata serta meningkatkan kesempatan belajar untuk semua. Atas hal itu, Ena meminta pemerintan lebih gigih dan gencar melakukan ‘sapu bersih’ terhadap anak-anak yang tidak bersekolah.
“Kuncinya kemauan kuat dan keputusan politik dari pemerintah agar seluruh anak Indonesia bisa mengenyam pendidikan,” ujarnya.
Selain itu, LPA GENERASI juga memantau sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Menurut dia, tak ada yang menolak sistem zonasi demi kebaikan siswa didik, namun yang perlu diperhatikan ialah jumlah sekolah negeri di suatu wilayah yang tidak merata.
“Sekolah jenjang SLTP/SLTA jumlahnya dihampir semua wilayah indonesia sangat minim. Apa yang menjadi program prioritas Kemendikbud terhadap kondisi ini ?”, katanya.
la meminta, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melakukan koordinasi sekaligus pemantauan intensif dengan seluruh Pemerintah Daerah yang mewajibkan sistem zonasi. Tujuannya, agar ada peningkatan jumlah sekolah negeri demi pemerataan pendidikan bagi setiap anak.
“Sistem zonasi yang katanya menghilangkan penggunaan SKTM (surat keterangan tidak mampu), pada kenyataannya masih digunakan sebagai salah satu cara masuk sekolah negeri,” ujarnya.
Ena menjelaskan, interpretasi yang beragam terhadap sistem zonasi memberi peluang besar bagi terbukanya ruang korupsi baru. Sebab, kenyataanya model zonasi di hampir banyak wilayah sangat bervariasi.
“Tidak persis seperti aturan permendikbud dengan persentasi 80 persen zonasi, 15 persen prestasi dan lima persen pindahan,” tuturnya.
Selain itu, Ena juga menyinggung persoalan ancaman Kekerasan fisik dan kejahatan seksual dalam dunia pendidikan yang masih terus terjadi. la menuturkan, melalui media sosial, begitu mudahnya publik melihat berita dan tayangan kekerasan yang dilakukan antar murid, atau antara guru dan murid.
Padahal, Mendikbud sudah membuat regulasi tentang pencegahan dan penganggulangan kekerasan di sekolah yaitu Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015. Namun, hanya segelintir guru saja yang tahu tentang peraturan ini.
Bila peraturan ini tidak dipahami oleh setiap elemen dalam dunia pendidikan, maka tidak ada gunanya peraturan ini sebagai sarana untuk melindungi anak-anak Indonesia dari berbagai tindak kekerasan di sekolah,” ujarnya. (Bis)