Kado Tiga Kubik: Saat Permintaan Maaf Mengalir Bersama Air Keruh di Indramayu

Min.co.id ~ Indramayu ~ Tak semua permintaan maaf berhenti di kata-kata. Di Indramayu, air yang sempat mengalir keruh ke rumah-rumah warga justru menjadi awal dari pengakuan tanggung jawab dan wujud empati nyata.

Pemerintah Kabupaten Indramayu melalui Perumdam Tirta Darma Ayu mengambil langkah berbeda: menggratiskan tiga kubik air untuk sekitar 24 ribu pelanggan di wilayah timur. Tiga kubik yang bukan sekadar angka, tetapi menjadi simbol bahwa kepercayaan publik tak bisa dianggap remeh dan bahwa pelayanan publik sejatinya adalah soal rasa, bukan hanya data.

Kalimat itu tak diucapkan dengan ringan. Ditemani Plt. Dirut Perumdam Jojo Sutarjo, Bupati Indramayu Lucky Hakim menyampaikan langsung ke media di Pendopo Indramayu. Sorot matanya tajam, tapi suaranya datar dan jelas. Ia tahu, air keruh yang selama beberapa hari terakhir masuk ke rumah-rumah warga bukan sekadar gangguan teknis melainkan gangguan pada kepercayaan.

“Kami gratiskan tiga kubik per pelanggan. Ini bentuk tanggung jawab kami,” ucap Lucky.
“Kami ingin masyarakat tahu, kami mendengar, dan kami bertindak.”

Kekeruhan itu, menurutnya, terjadi akibat proses flashing pipa dan uji coba tekanan air dari Kuningan. Endapan lumpur lama yang selama ini diam, mendadak ikut hanyut karena dorongan tekanan besar. Dan lumpur itu masuk, bukan hanya ke saluran air, tapi juga ke ruang-ruang privat kehidupan warga.

Tak hanya di timur di barat Indramayu, masalah lain terjadi. Sumber air untuk wilayah Patrol dan Kandanghaur nyaris terputus akibat proyek di Saluran Salam Darma milik BBWS. “Ini force majeure,” jelas Jojo Sutarjo. Proyek besar yang tak bisa ditunda, tapi juga berdampak langsung pada ribuan kran yang tiba-tiba kering.

“Kami sudah lakukan pompanisasi, walaupun baru bisa melayani sepertiga pelanggan di sana,” kata Jojo.
“Tapi kami tidak akan berhenti. Kami akan terus cari jalan.”

Langkah-langkah teknis dilakukan, tetapi yang paling menyentuh adalah keterbukaan. Tidak ada pembelaan yang rumit. Tidak ada saling lempar tanggung jawab. Hanya satu sikap rendah hati mengakui, lalu bergerak menyelesaikan.

Sebagian orang mungkin akan menganggap tiga kubik air sebagai angka kecil. Tapi bagi pelanggan yang harus menampung air keruh dengan ember dan sabar, itu adalah bentuk penghargaan terhadap hak mereka sebagai warga.

Bukan tentang harganya. Tapi tentang makna bahwa pemerintah hadir bukan hanya saat upacara, tapi saat rumah mereka bau lumpur dan anak-anak harus mandi dengan air berwarna.

Kisah ini bukan tentang kegagalan. Ini adalah cerita tentang bagaimana krisis ditangani dengan hati terbuka. Tentang bagaimana pelayanan publik bisa punya wajah manusia yang mau minta maaf, yang mau bertanggung jawab, dan yang tak malu untuk mengatakan, “Kami salah.”

Karena pada akhirnya, seperti air yang akan kembali jernih setelah badai tekanan, kepercayaan pun bisa mengalir kembali jika ditangani dengan ketulusan.(*)

Editor : Achmad

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *