Kain Celugam Lampung Barat: Hak Paten untuk Melestarikan Warisan Budaya yang Berharga

JAKARTA ~ Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia memberikan sertifikat hak paten kepada Pemerintah Kabupaten Lampung Barat sebagai pemilik motif kain celugam. Kain celugam menjadi salah satu warisan budaya berharga dari wilayah tersebut, dengan kekhasan motif dan sejarah yang mengandung banyak makna dan nilai.

Celugam bukan sekadar kain, melainkan bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Lampung Barat. Sebagai warisan budaya, celugam dahulu lebih sering digunakan dalam acara adat, seperti alas kasur berlapis dalam upacara adat dan pudak palsu Kerajaan Sekala Brak. Motif-motif unik dan antik seperti puttut manggus, apipon, cumcok, kekeris, dan lalamban menjadi ciri khas celugam.

Motif-motif tersebut memiliki makna tersendiri, dan pembuatannya menggunakan teknik patchwork atau penyambungan kain segitiga. Setiap tingkatan tempat duduk dalam upacara kerajaan menggunakan motif celugam yang berbeda. Motif puttut manggus menggambarkan bagian bawah buah manggus, apipon seperti gerigi, cumcok sebagai pembatas motif, kekeris dengan corak seperti keris, dan lalamban dengan karakteristiknya masing-masing.

Awalnya, kain celugam digunakan dalam busana tradisional perempuan dan laki-laki, tetapi seiring perkembangan zaman, celugam diversifikasi menjadi berbagai produk sehari-hari. Saat ini, selain dalam upacara adat, celugam juga menjadi sarung bantal kursi, taplak meja, tatakan gelas, pembungkus galon air, tas, busana, dan berbagai produk lainnya.

Kain celugam bukan hanya sebagai warisan berharga dari Kabupaten Lampung Barat, tetapi juga sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia yang perlu dijaga agar tidak punah. Pemberian sertifikat hak paten oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual menjadi langkah konkret dalam melestarikan dan mempromosikan kain celugam kepada masyarakat lebih luas.

Berita ini menggarisbawahi pentingnya pelestarian kain celugam sebagai aset budaya yang bernilai tinggi dan mendorong kreativitas penggunaannya dalam konteks tradisional maupun modern. (*)

editor : achmad

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *