Min.co.id- Kementerian Kesehatan melaporkan penyakit difteri (batuk rejan) kembali mewabah di Indonesia. Sampai 23 November 2017, penyakit ini berjangkit di 23 provinsi. Dalam kurun Oktober–November 2017, sebanyak 11 provinsi melaporkan Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri.
Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae dan dapat menyebabkan kematian, terutama pada anak-anak. Menteri Kesehatan, Nila F Moeloek, mengatakan bahwa wabah difteri ini dipicu oleh tidak meratanya penyebaran imunisasi yang tidak mencapai 95 persen. “Satu bukti ini memang betul kalau kita tidak mencapai yang disebut 95 persen, itu kita bisa terkena. Satu saja yang kena, itu bisa kena semua,” kata Menteri Kesehatan, di Jakarta, Selasa (5/12).
Berdasarkan data Kemenkes, kurun Oktober–November 2017, 11 provinsi yang melaporkan KLB Difteri adalah Sumatera Barat, Jawa Tengah, Aceh, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Riau, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Nila menyebutkan, jika wabah ini dianggap KLB, setiap anak diharuskan mendapatkan imunisasi lagi, termasuk untuk mencegah penyakit difteri.
“Kalau ada satu saja atau beberapa kasus dianggap ini sudah KLB, itu kita harus imunisasi lagi, itu memerlukan biaya dan merugikan,” tegasnya. Imunisasi memang sangat penting karena merupakan suatu pencegahan terhadap penyakit. Namun, bagi yang tidak ikut serta dalam imunisasi, menurut Menkes, mudah terjangkit penyakit menular.
“Maksudnya masyarakat lain yang kena. Kalau tertolong, bagaimana kalau tidak tertolong?” tuturnya. Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae dan dapat menyebabkan kematian, terutama pada anakanak.
Belum Diimunisasi
Sementara itu, Direktur Jenderal (Dirjen) Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes, HM Subuh, mengatakan ada beberapa hal yang ditemukan di lapangan terkait penyebab merebaknya wabah ini. “Saya baru saja perjalanan darat dari Kalimantan Timur menuju Kalimantan Tengah.
Itu apa yang kita temukan? Yang pertama adanya laporan-laporan terhadap kasus difteri yang kriterianya belum diimunisasi sama sekali,” ujarnya. Ternyata, masih banyak anak-anak yang belum tersentuh imunisasi, termasuk imunisasi difteri. Penyebab inilah yang dikatakan adalah penyebab terbesar. Berikutnya adalah tidak lengkapnya imunisasi yang diberikan.
“Sudah diimunisasi, tapi tidak lengkap,” imbuhnya. “Difteri termasuk imunisasi wajib yang telah dilaksanakan sejak 30 tahun lalu. Dia harus selesai imunisasi itu diberikan tiga kali. Harus selesai pada saat seorang bayi berusia enam bulan. Kemudian, akan kita ulang pada waktu dia masuk SD (sekolah dasar),” jelasnya.
Penyebab ketiga, lanjutnya, adalah meski sudah imunisasi lengkap, namun masih bisa tertular difteri. Inilah yang harus dievaluasi mengapa bisa sampai terjadi. “Apa pun yang terjadi, kita mempersiapkan, kalau perlu dilakukan ORI (outbreak response immunization). Jadi, itu kejadian luar biasa dan imunisasi diberikan karena adanya KLB,” tutupnya.
Beberapa cara penularan bakteri ini dikaitkan dengan adanya kontak secara fisik dengan penderita yang terinfeksi. Penularannya mencakup udara yang keluar melalui napas penderita, cairan dari hidung, mukosa tenggorokan dan ludah, luka di kulit, serta terpapar darah dari penderita.(KJ)
sumber:koranjakarta