kebijakan itu tidak senapas dengan UU Sistem Pendidikan Nasional yang selama ini cukup demokratis dan memandirikan satuan-satuan pendidikan, khususnya, untuk mengembangkan pilihan model sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kesiapan sekolah/madrasah masing-masing.
Selain itu, ia mengatakan, jika berkaca terhadap ketentuan waktu kerja guru yang diatur dalam Pasal 35 ayat (1) UU Guru dan Dosen disebutkan, beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan. Dalam ayat (2), beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu. Menurutnya, kebijakan baru lima hari per delapan jam belajar di sekolah berpotensi besar, guru melampaui jumlah jam mengajar di sekolah yang telah diatur dalam UU dimaksud.
Ketiga, apabila melihat perspektif sosio-kultural, kebijakan baru lima hari per delapan jam belajar di sekolah tidak senafas dengan kondisi masyarakat Indonesia yang sangat beragam dan multikultur. Ia mengingatkan, Indonesia itu bukan kota, tetapi sangat beragam. Sehingga, dengan keragaman yang ada, sistem pendidikan harus relevan bukan justru bertentangan dengan potret faktual sosio-kultural masyarakat.
Dia menilai semangat besar Presiden untuk memperkuat pendidikan karakter di sekolah harus didukung dan dirumuskan dengan cermat. Tujuannya agar arsitektur pendidikan masa depan yang berorientasi jangka panjang, khas dan menjawab masyarakat yang bineka dalam segala hal. Namun solusinya bukan menambah jumlah jam belajar di sekolah.
Kempat, apabila melihat peta kecenderungan masyarakat terhadap pendidikan, kebijakan baru lima hari per delapan jam belajar di sekolah merupakan sistem layanan