Padepokan Bunilaya Kuda Putih Cetak 1000 Buku Seni Ujungan

Min.co.id,Majalengka-Kepala dinas Parbud Majalengka H. Gatot dalam sambutannya mengapresiasi dan berharap Padepokan Bunilaya Kuda Putih terus mengembangkan seni Ujungan ditengah perubahan jaman, boleh dengan kemasan yg modern tapi jangan merubah keaslian seni Ujungan, Selasa (28/11/2017)

Dalam acara pentas seni ujungan ini telah diluncurkan Buku “SENI UJUNGAN” karya Momon Abdurahman sebanyak 1000 (seribu) buku yang akan diberikan untuk siswa/siswi SD dan SMP yang diserahkan kepada Disdik Majalengka, Dinas Parbud Majalengka, dan Kepada Anggota DPRD Majalengka yang disaksikan oleh tokoh dan masyarakat, yang bertujuan supaya generasi mengenal akan adanya seni ujungan di kabupaten majalengka yang berasal dari desa cengal kecamatan maja.

Ketua Padepokan Taufik Hidayat yang akrab dipanggil Uwa Geblug mengatakan, seni ujungan adalah seni beladiri yang berkembang di desa Cengal, Seni Ujungan telah ada sejak tahun 1700. Seni ini memiliki keterkaitan dengan Kerajaan Talagamanggung. Sementara, Ujungan ini tersebar di wilayah kerajaan Sunda. Sempat menghilang tahun 1960-an, karena ada isu kesenian ini mengandung unsur kekerasan. Namun, sejak tahun 2009 lalu seni Ujungan kembali muncul mulai dikembangkan dan dikenalkan kepada generasi muda dan masyarakat.” tuturnya.

Dirjen kesenian kementrian pendidikan dan kebudayaan RI Dr. Restu Gunawan yang hadir pada hari senin (27/11/2017) kemarin, beliau mengapresiasi dan minta agar anak-anak bisa lebih sering mementaskan seni tari dan silat Ujungan ini, Serta yang terpenting terus dikembangkan dan dikenalkan agar tidak punah,” ungkapnya.

Taufik (uwa geblug) dikenal oleh warganya paling giat untuk menghidupkan kembali seni Ujungan. Pihaknya menambahkan bahwa seni ini sudah ditampilkan dan dipentaskan dalam berbagai kegiatan di tingkat Kabupaten maupun Jawa Barat.

Taufik menambahkan, ada bedanya dengan sampyong, Ujungan ini dipentaskan dengan pertandingan menggunakan rotan dengan panjang maksimal 90 centimeter. Hanya saja di desa Cengal ini menggunakan rotan dengan panjang 70 cm dengan diameter 3 cm. Sementara untuk tongkat sampyong lebih pendek, dulu ujung rotan sengaja digunakan dengan diolesi racun ular belang maupun ular Kobra. Namun sekarang tidak digunakan. Tetapi sebagai pelindung kepala dibuatlah balakutak (pelindung kepala) yang terbuat dari kain. Balakutak ini bentuknya seperti helm.” ungkapnya.

Taufik menjelaskan selain itu perbedaanya terletak pada pemain Ujungan selain menggunakan busana hitam-hitam. Perbedaanya terletak pada sasaran pukulan dan jumlah pukulan. Sasaran pukulan pada ujungan tidak terbatas. Seorang pemain ujungan bebas memukul sepuasnya, begitupin yang dipukul. “Sementara sampyong dibatasi. Tapi intinya kami di Cengal ini akan konsen untuk mengembangkannya. Seperti yang diamanhkan pak direktur Kesenian dari Kementrian,” terangnya. (Bis)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *