Kedudukan praperadilan dalam sistem pidana pernah digugat seorang karyawan perusahaan minyak, Bachtiar Abdul Fatah ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2014 lalu. Di mana Bahctiar dikenakan status tersangka oleh Kejaksaan Agung.
Berdasarkan KUHAP saat itu, status tersangka hanya bisa dicabut oleh aparat. Bagaimana bila warga keberatan? KUHAP tidak memberikan celah sedikit pun untuk menghapus status ‘tersangka’, sehingga seseorang bisa menjadi tersangka selama-lamanya.
1. Sah atau tidaknya penangkapan.
2. Sah atau tidaknya penahanan.
3. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan.
4. Sah atau tidaknya penghentian penuntutan.
Pemohon berharap MK memberikan penambahan kewenangan praperadilan untuk menguji penetapan status tersangka seseorang. Gayung bersambut. MK mengabulkan permohonan Bachtiar.
Pada 28 Oktober 2014, MK menambah makna Pasal 77 huruf a, yaitu praperadilan juga mengadili:
1. Sah atau tidaknya penangkapan.
2. Sah atau tidaknya penahanan.
3. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan.
4. Sah atau tidaknya penghentian penuntutan.
5. Sah atau tidaknya penetapan tersangka.
6. Sah atau tidaknya penggeledahan.
7. Sah atau tidaknya penyitaan.
“Dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum,” ujar majelis sebagaimana dikutip dari putusan Nomor 21/PUU-XII/2014, Senin (2/10/2017).
Nah, bagaimana bila seseorang status tersangkanya digugurkan praperadilan? Apakah berarti ia bebas dan tidak bisa jadi tersangka lagi? MK menjawab bila hal itu tetap berlaku. Seseorang bisa dikenakan kembali tersangka asal penyidik memiliki bukti baru, sedikitnya dua alat bukti.
“Namun demikian, perlindungan terhadap hak tersangka tidak kemudian diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana, sehingga tetap dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku secara ideal dan benar,” kata MK dalam pertimbangan halaman 106.
MK menegaskan, hakikat keberadaan pranata praperadilan adalah sebagai bentuk pengawasan dan mekanisme keberatan terhadap proses penegakan hukum yang terkait erat dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia. Sehingga pada zamannya aturan tentang praperadilan dianggap sebagai bagian dari
mahakarya KUHAP. Seiring waktu, MK menilai perlu dimasukkannya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan.
“Dengan kata lain, prinsip kehati-hatian haruslah dipegang teguh oleh penegak hukum dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka,kata MK.
Putusan MK ini tidak bulat. Hakim konstitusi Patrialis Akbar menyetujui penetapan tersangka masuk ranah praperadilan, namun ia memiliki alasan sendiri, berbeda dengan 6 hakim konstitusi lainnya. Adapun hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna, Aswanto dan M Alim menilai sebaliknya yaitu penetapan tersangka tidak masuk dalam ranah praperadilan.
“Tidak memasukkan penetapan tersangka ke dalam ruang lingkup praperadilan tidaklah bertentangan dengan Pasal 9 ICCPR. Dengan demikian, tidak memasukkan penetapan tersangka ke dalam ruang lingkup praperadilan bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dipersalahkan menurut hukum internasional (internationally wrongful act) yang dapat dijadikan dasar untuk menuntut adanya tanggung jawab negara (state responsibility), in casu Indonesia,” ujar Palguna.
Adapun menurut hakim konstitusi Aswanto, MK tidak berhak menambah kewenangan praperadilan, karena merupakan kewenangan DPR untuk merevisi KUHAP, bukan dengan kewenangan ‘tafsir’ MK.
“Menjadikan penetapan tersangka sebagai salah satu objek praperadilan yang sebelumnya tidak terdapat dalam KUHAP adalah membuat norma baru yang bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi melainkan kewenangan pembentuk undang-undang,” kata Aswanto.
Di kasus lain, La Nyalla Matalitti 3 kali dijadikan tersangka, dan tiga kali menang praperadilan. Sebab, penetapan tersangka ulang La Nyalla dilakukan setelah putusan MK di atas.