Wirun, Negeri Gamelan yang Tak Pernah Padam

SOLO | Di sebelah timur Kota Solo, sekitar 10 kilometer dari keramaian kota, terdapat sebuah desa yang seolah berdiri di antara masa lalu dan masa kini. Desa Wirun, Kecamatan Mojolaban, Sukoharjo tanah subur yang dialiri embung, tempat warganya bertani sekaligus menyalakan bara tradisi  pembuatan gamelan Jawa.

Di desa inilah denting-denting budaya terus ditempa sejak tahun 1956. Kini, meski badai modernisasi datang silih berganti, masih tersisa delapan workshop rumahan yang menjaga napas panjang warisan leluhur. Masing-masing mempekerjakan sekitar sembilan empu yang menghidupkan seperangkat gamelan dengan tangan, tenaga, dan kepekaan rasa.

Sejarah gamelan bukan sekadar dongeng tutur warga. Jejaknya terpahat jelas pada relief Candi Borobudur dan Prambanan: kendang bertali yang dikalungkan di leher, simbal, siter, suling hingga gambang  bukti bahwa instrumen ini pernah mengiringi upacara kerajaan dan tarian sakral berabad-abad lampau.

Sumber-sumber klasik seperti Serat Wedhapradangga dan catatan Gusti Puger, putra Paku Buwono XII, bahkan menyebut gamelan awal yang dikenal sebagai Gangsa Raras Salendro, dihimpun oleh Raden Ngabehi Prajapangrawit pada 1874.

Di Wirun, satu perangkat gamelan tak lahir dari mesin, melainkan dari perjuangan. Proses pembuatan dimulai dari besi, kayu, kulit hingga finishing.

Tahapan paling berat adalah peleburan logam. Campuran tembaga dan timah dilebur dalam tungku tanah liat selama kurang lebih 30 menit. Saat leleh sempurna, logam panas itu dituangkan ke cetakan melahirkan leker, cikal bakal gong maupun bilah saron.

Leker yang telah dingin lalu ditempa habis-habisan hingga membentuk karakter bunyi. Inilah fase melelahkan, namun menjadi inti dari seni gamelan Wirun.

Kemudian, seorang pengrajin khusus dengan telinga “bermata batin” menyetel nada demi nada mengikuti tangga pentatonik gamelan Jawa. Kepekaan ini tak bisa dipelajari dalam semalam  ia adalah warisan yang menetes perlahan dari generasi ke generasi.

Setelah besi sempurna, giliran kayu dan bambu membentuk rangka. Kulit kerbau atau kambing dijadikan membran kendang. Semua disatukan, dipoles, dan diwarnai hingga menjadi satu perangkat gamelan lengkap.

Waktu pengerjaannya? Tiga hingga empat bulan untuk 14 perangkat gamelan. Sebuah kesabaran yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang merawat tradisi.

Meski tradisional, gamelan Wirun menembus pasar nasional dan internasional. Pesanan datang dari berbagai kota dan juga luar negeri. Harga satu set gamelan lengkap mencapai Rp300 juta, bahkan untuk kualitas premium bisa menyentuh Rp600 juta.

Tradisi, ketekunan, dan kualitas nada yang khas membuat gamelan Wirun selalu punya tempat di hati para pecintanya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *