Pesan Cinta dari Surabaya untuk Sang Guru Bangsa

SURABAYA | Di bawah cahaya lampu Gedung Negara Grahadi yang teduh, suasana terasa hangat meski sore menjelang. Para tamu undangan berdiri penuh hormat, bukan sekadar mengikuti sebuah acara seremonial, melainkan menyaksikan momen sejarah yang kembali menghadirkan jejak langkah seorang tokoh yang telah lama hidup di hati bangsa KH. Abdurrahman Wahid, Gus Dur.

Dalam tasyakuran atas penganugerahan gelar Pahlawan Nasional untuk mendiang Presiden keempat RI itu, Hj. Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid tampil bukan hanya sebagai istri almarhum, tetapi sebagai penjaga ingatan kolektif bangsa.

Dengan suara tenang namun penuh getaran makna, ia membentangkan kembali benang-benang nilai yang pernah ditenun oleh sang suami untuk Indonesia.

“Gus Dur tak pernah mengejar penghargaan,” ucapnya, disambut hening yang khidmat. “Yang beliau perjuangkan adalah kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, dan demokrasi.”

Kata-katanya jatuh seperti tetes embun, menyejukkan sekaligus menyadarkan kembali bahwa perjuangan seorang pahlawan sejati tak pernah berhenti pada gelar. Ia hidup di hati rakyat  selamanya.

Di hadapan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur, para kiai, tokoh-tokoh NU, dan komunitas Gusdurian, Hj. Shinta mengulang salah satu pesan paling universal dari Gus Dur: bahwa manusia dinilai bukan dari identitasnya, melainkan dari kebaikan yang ditanam untuk sesama.

“Indonesia ini seperti taman,” tuturnya lembut. “Mawar tak bisa dipaksa menjadi kenanga, anggrek tak bisa dipaksa menjadi melati.”

Ungkapan itu sontak menghidupkan kembali filosofi sederhana namun dalam: keberagaman adalah anugerah, bukan ancaman; perbedaan adalah warna, bukan garis pemisah.

Acara tasyakuran itu kemudian ditutup dengan lantunan “Satu Nusa Satu Bangsa”. Suara para tamu undangan berpadu, mengalun penuh haru, seolah menjadi jembatan batin antara masa kini dan warisan pemikiran Gus Dur yang tak lekang dimakan zaman.

Di tengah lantunan itu, tampak Yenny Wahid berdiri mendampingi ibunya  sebuah simbol bahwa perjuangan Gus Dur masih berlanjut, diteruskan oleh generasi penerus yang membawa cahaya pemikiran Sang Guru Bangsa.

Sore itu, Surabaya bukan hanya menjadi tuan rumah sebuah acara kenegaraan. Ia menjadi ruang tempat bangsa ini kembali belajar tentang kasih, kemanusiaan, dan keberagaman.

Nilai-nilai yang selalu diperjuangkan Gus Dur  dan kini kembali bergema, mengingatkan seluruh anak negeri bahwa Indonesia yang damai adalah warisan yang harus dijaga bersama. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *