Kisah Kuli Bangunan yang Membangun Masa Depan Anak Lewat Sekolah Rakyat

PROBOLINGGO | Di tengah debu proyek dan suara palu yang bertalu-talu, seorang pria paruh baya bernama Mochamad Saleh (51) sedang membangun sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar tembok dan atap: ia sedang membangun masa depan anaknya.

Saleh adalah kuli bangunan di Kota Probolinggo. Tubuhnya yang mulai renta tetap ia paksakan kuat, bukan demi kemewahan, tetapi demi harapan agar anak-anaknya tak bernasib sama seperti dirinya.

“Saya cuma sekolah sampai SD. Waktu bapak meninggal, saya harus bantu adik-adik. Hidup saya habis buat kerja,” ujarnya lirih di Sekolah Rakyat (SR) Terintegrasi 7 Probolinggo, Kamis (16/10/2025).

Sejak remaja, Saleh sudah menanggung beban keluarga. Ia jadi orang tua sebelum waktunya. Kini, di usia senja, ia ingin membayar tuntas masa lalu yang tak memberinya kesempatan untuk belajar  melalui anak-anaknya.

Anak bungsunya, Yazam, kini bersekolah di Sekolah Rakyat, program pendidikan gratis bagi keluarga prasejahtera yang digagas pemerintah. Berkat bantuan Program Keluarga Harapan (PKH), Yazam bisa belajar tanpa harus memikirkan biaya.

“Saya bersyukur sekali. Terima kasih Pak Presiden Prabowo dan para menteri. Saya cuma ingin anak saya jadi orang pintar,” tutur Saleh dengan mata berkaca-kaca.

Sebagai tukang bangunan, penghasilannya tidak menentu. Kadang ada proyek, kadang nihil. Untuk makan saja harus berhemat, apalagi menabung.

“Kalau enggak ada kerjaan, ya irit makan. Bahkan bensin ke sekolah anak aja kadang ngos-ngosan,” katanya.

Namun semua keterbatasan itu tak pernah memadamkan semangatnya. Ia rela hanya bertemu anak seminggu sekali demi bisa menghemat ongkos dan memastikan Yazam tetap bersekolah.

“Sedih jauh dari anak, tapi lebih sedih lagi kalau dia bodoh kayak saya. Saya rela berkorban sekarang, asal anak saya punya masa depan,” ujarnya.

Kini, perubahan nyata mulai terlihat. Yazam yang dulu sibuk dengan gawai kini lebih rajin belajar dan patuh pada orang tua.

“Dulu pegang HP terus, sekarang disita ibunya. Sekarang dia lebih semangat belajar. Saya bangga sekali,” kata Saleh sambil tersenyum.

Bagi Saleh, kebahagiaan bukan soal harta atau kenyamanan, melainkan melihat anaknya kelak berdiri tegak dengan pendidikan yang baik.
“Kalau cuma kumpul terus tapi anak nggak sekolah, apa gunanya? Saya pengin dia sukses, biar hidupnya nggak susah kayak saya,” ujarnya mantap.

Ia pun berharap program Sekolah Rakyat terus dilanjutkan, bahkan hingga ke jenjang perguruan tinggi. “Kalau dulu ada sekolah kayak gini, saya pasti sekolah terus. Tapi nggak apa-apa, sekarang anak saya punya kesempatan itu. Saya dukung sepenuhnya.”

Di sela-sela kerja beratnya, di balik keringat yang mengucur di wajah, Mochamad Saleh sedang membangun sesuatu yang lebih kokoh dari beton: masa depan anaknya, batu demi batu, harapan demi harapan. (*)

Komentar

News Feed