YOGYAKARTA | Di balik bungkus daun pisang yang sederhana, lemper menyimpan kisah panjang tentang rasa, tradisi, dan kehangatan budaya Jawa. Terbuat dari ketan yang dipadukan dengan santan dan isian ayam atau abon, penganan mungil ini bukan sekadar camilan melainkan jejak sejarah yang masih hidup di setiap gigitannya.
Lemper bukan sekadar makanan. Ia adalah simbol kasih sayang dan keramahan. Dalam setiap hajatan tempo duludari lamaran, selamatan, hingga syukuran lemper selalu hadir sebagai saksi kebersamaan. Namanya bahkan tercatat dalam Serat Centini, naskah klasik abad ke-18 yang memuat kekayaan budaya dan kuliner masyarakat Jawa kala itu.
Kini, meski zaman telah berganti, lemper tetap bertahan. Dari dapur tradisional hingga rak minimarket modern, ia hadir dengan bentuk lebih praktis namun tetap membawa kehangatan masa lampau. Entah dinikmati sebagai sarapan ringan, bekal perjalanan, atau teman teh sore, lemper selalu punya cara sederhana untuk membuat kita rindu rumah.
Yogyakarta menjadi salah satu penjaga rasa dan ruh lemper. Di kota ini, berbagai versi lemper bisa ditemukan dari yang manis, gurih, hingga versi kekinian dengan isian modern. Namun, di balik semua inovasi itu, satu hal tak berubah: lemper tetap membungkus kenangan dan keakraban.
Karena sejatinya, setiap lemper adalah cerita.Cerita tentang keluarga, tradisi, dan rasa yang tak lekang oleh waktu. (*)










Komentar