Indramayu | Stabilitas sektor perbankan semakin menjadi sorotan sebagai fondasi utama dalam menjaga keberlanjutan pertumbuhan ekonomi nasional. Di tengah ketidakpastian ekonomi global, perbankan Indonesia tetap menunjukkan ketahanan kuat dengan rasio kecukupan modal (CAR) di atas 22 persen dan rasio kredit bermasalah (NPL) terjaga di bawah 2,5 persen.
Menurut data Bank Indonesia kuartal II 2025, fungsi intermediasi perbankan berjalan sehat. Kredit tumbuh 7,77 persen (yoy) menjadi Rp8.059,79 triliun, ditopang pertumbuhan Kredit Investasi 12,53 persen dan Kredit Konsumsi 8,49 persen. Meski kredit UMKM baru tumbuh 2,18 persen, perbankan terus fokus memperbaiki kualitas pembiayaan di sektor ini.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menegaskan stabilitas tersebut menjadi modal besar menghadapi risiko global. “Ketahanan perbankan tercermin dari permodalan (CAR) yang tinggi, yakni 25,81 persen. Ini menjadi bantalan mitigasi risiko di tengah ketidakpastian global,” ujarnya.
Selain itu, Dana Pihak Ketiga (DPK) juga meningkat 6,96 persen (yoy) menjadi Rp9.329 triliun. Pertumbuhan giro tercatat 10,35 persen, tabungan 6,84 persen, dan deposito 4,19 persen. Penurunan BI Rate turut menurunkan bunga kredit hingga rata-rata 8,99 persen, memberi ruang gerak lebih luas bagi sektor riil.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memainkan peran krusial dalam menjaga kepercayaan masyarakat. Dengan aset mencapai Rp250 triliun, LPS memastikan simpanan masyarakat di bank tetap aman. “Menabung di bank adalah yang paling aman, karena dijamin LPS. Bahkan dalam kasus bank bermasalah, pencairan simpanan bisa dilakukan maksimal lima hari,” jelas Anggota Dewan Komisioner LPS, Didik Madiyono.
LPS juga mencatat pola menabung masyarakat terus bergerak. Indeks Menabung Konsumen (IMK) Juli 2025 berada di level 82,2, sedikit melemah karena meningkatnya pengeluaran rumah tangga untuk pendidikan. Namun, tabungan jumbo di atas Rp5 miliar justru naik 9,45 persen, menandakan perusahaan masih menahan likuiditas untuk ekspansi bisnis ke depan.
Ekonom Universitas Indonesia, Dr. Hendro Wijanarko, menekankan bahwa menabung bukan sekadar kebiasaan individu, melainkan kontribusi nyata bagi perekonomian bangsa. “Tabungan masyarakat memperkuat pembiayaan domestik, sehingga Indonesia tidak selalu bergantung pada utang luar negeri,” ungkapnya.
Bank Indonesia melaporkan tingkat tabungan rumah tangga tumbuh 8,7 persen pada 2025, didorong kesadaran finansial pascapandemi dan masifnya program inklusi keuangan. Tantangan terbesar kini adalah memperluas akses perbankan ke pedesaan melalui digital banking, fintech, dan koperasi.
Dana masyarakat yang tersimpan di perbankan tidak berhenti di rekening, melainkan disalurkan ke kredit produktif—mulai dari UMKM, infrastruktur, hingga manufaktur. Inilah fungsi intermediasi perbankan yang menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional.
Dengan stabilitas perbankan yang terjaga, meningkatnya DPK, dan peran aktif masyarakat dalam menabung, Indonesia diyakini mampu memperkuat ketahanan ekonominya. Target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,4 persen pada 2025 pun dinilai realistis tercapai.
“Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, kekuatan bangsa bisa berawal dari hal sederhana: keputusan untuk menabung,” tegas Purbaya Yudhi Sadewa, Ketua Dewan Komisioner LPS. (*)










Komentar