Langkah Kecil dari Lorong Sempit: Harapan Baru Anak-Anak Miskin di Sekolah Rakyat

Jakarta | Di balik gemuruh kota yang tak pernah tidur, di lorong-lorong sempit tempat harapan kerap kandas oleh kenyataan, pagi itu hadir cerita baru. Di pelataran Sentra Handayani, Bambu Apus, Cipayung, Jakarta Timur, suara rintik air mata dan pelukan perpisahan menjadi musik yang mengiringi keberangkatan anak-anak menuju babak baru: menjadi murid di Sekolah Rakyat.

Sekolah ini bukan sembarang sekolah. Ia hadir sebagai jawaban dari doa-doa yang mengendap di dada para orang tua yang terlalu sering menunduk karena tak sanggup membayar biaya pendidikan. Hari itu, bukan hanya anak-anak yang memulai petualangan baru, tetapi juga para ibu yang perlahan belajar merelakan demi masa depan.

Salah satunya adalah Suharni (38), janda beranak tujuh dari Kapuk, Cengkareng. Dengan langkah pelan dan wajah lelah, ia menggenggam tangan putri sulungnya, Silvi (13), seerat mungkin. “Kalau sekolah swasta, saya ndak sanggup. Ini satu-satunya jalan,” lirihnya, matanya berkaca-kaca.

Setiap hari, Suharni bekerja sebagai pengasuh anak tetangga. Penghasilannya nyaris tak pernah cukup. Namun bagi perempuan kuat ini, pendidikan adalah harga mati. “Cuma ini yang bisa saya wariskan ke anak-anak: kesempatan untuk belajar.”

Tak semua orang tua langsung mantap menitipkan anaknya. Ilah (38) mengaku awalnya menolak tawaran memasukkan anak ke Sekolah Rakyat. Bukan karena tak peduli, tapi karena takut. “Biasanya anak sekolah bisa pulang, ini harus tinggal di asrama. Takut enggak betah, takut enggak aman.”

Namun semua rasa waswas itu runtuh begitu ia menginjak halaman asrama. Tempat tidur bersih, makanan sehat, pendamping yang sabar dan penuh cinta. “Begitu lihat langsung, saya malah lega. Kayak pesantren, tapi versinya pemerintah. Gratis pula,” katanya sambil tersenyum lega.

Harapannya sederhana: agar anaknya bisa jadi tentara, impian yang dulu terlalu mahal untuk dirinya.

Hasyim (39), warga Jakarta Utara, justru langsung menerima program ini dengan tangan terbuka. “Kalau tetap di rumah, tiap hari lihat anak-anak nongkrong, tawuran, main HP seharian. Di sini, anak saya bisa tenang belajar, jauh dari lingkungan buruk.”

Bagi Hasyim, Sekolah Rakyat adalah jawaban dari keresahan kolektif para orang tua di kampung padat. “Gratis, tapi fasilitasnya oke. Anak-anak dikasih makan, tempat tidur, buku, seragam. Bahkan diajarin agama dan keterampilan hidup. Ini bukan sekadar sekolah, ini penyelamat.”

Konsep Sekolah Rakyat memang dirancang bukan hanya sebagai tempat belajar akademik. Ini adalah tempat membangun karakter, menanam nilai, dan menyemai mimpi-mimpi kecil dari keluarga besar yang pernah dilupakan negara.

Prof. Muhammad Nuh, Ketua Tim Formatur Sekolah Rakyat, menyebut sekolah ini sebagai “rumah harapan”. “Kami tak hanya mendidik anak-anak, tapi mengembalikan mimpi mereka yang pernah hilang karena kemiskinan,” ungkapnya.

Para siswa di sekolah ini tak hanya belajar IPA, IPS, atau Matematika. Mereka juga diajarkan kepemimpinan, empati, pengendalian diri, dan spiritualitas—sesuatu yang tak mudah ditemukan di sekolah umum sekalipun.

Kehadiran para tokoh nasional seperti Menteri Sosial Syaifullah Yusuf, Wakil Kepala Staf Presiden M. Qodari, dan pendiri ESQ Ary Ginanjar Agustian, menunjukkan bahwa ini bukan proyek kecil. Ini langkah besar negara untuk benar-benar hadir dalam hidup masyarakat bawah.

“Negara jangan hanya muncul saat bagi-bagi sembako. Kita harus hadir untuk memberi masa depan. Dan masa depan itu dibangun lewat pendidikan,” tegas Mensos Syaifullah dalam sambutannya.

Kini, ada 255 siswa tinggal di asrama Sekolah Rakyat Sentra Handayani—75 siswa SMP dan 180 siswa SMA. Mereka datang dari gang-gang sempit, rumah petak, dan warung-warung kecil, tapi membawa impian sebesar langit Jakarta.

Sekolah ini tidak punya gedung bertingkat atau taman megah. Tapi punya sesuatu yang jauh lebih penting: semangat dan cita-cita. Di balik tembok sederhana ini, sedang tumbuh generasi yang tak hanya cerdas, tapi juga tangguh dan berdaya juang tinggi.

Karena di Sekolah Rakyat, mimpi tak lagi milik anak-anak orang kaya. Mimpi telah turun ke bumi—menyapa anak-anak dari lorong sempit dengan suara yang lembut: “Ayo bangkit, kamu juga bisa.” (*ip)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *