Jakarta | Tanjidor merupakan salah satu kesenian tradisional Betawi yang memadukan musik dan tradisi. Kesenian ini telah ada sejak abad ke-18 dan masih dilestarikan hingga saat ini. Tanjidor biasanya dimainkan dalam berbagai acara adat Betawi, seperti pernikahan, sunatan, dan festival budaya.
Kata “tanjidor” berasal dari bahasa Portugis, “tangedor”, yang berarti peniup alat musik. Kesenian ini diyakini terinspirasi dari musik Portugis yang dibawa oleh para pelaut dan pedagang yang datang ke Batavia pada masa kolonialisme. Seiring waktu, musik Portugis bercampur dengan musik tradisional Betawi dan melahirkan seni tanjidor.
Tanjidor dimainkan dengan menggunakan berbagai alat musik, seperti: Tiup: klarinet, trompet, trombone, saksofon, dan terompet. Perkusi: gendang, simbal, gong, dan tambur. Gesek: tehyan dan rebab.
Pertunjukan tanjidor biasanya diawali dengan irama yang meriah dan energik. Kemudian, tempo musik akan melambat dan diiringi dengan nyanyian lagu-lagu tradisional Betawi. Para pemain tanjidor biasanya mengenakan pakaian adat Betawi yang berwarna cerah dan menarik.
Tanjidor memiliki nilai budaya yang tinggi bagi masyarakat Betawi. Kesenian ini merupakan simbol identitas dan budaya Betawi yang perlu dilestarikan. Selain itu, tanjidor juga berperan dalam menjaga tradisi dan nilai-nilai luhur budaya Betawi.
Saat ini, tanjidor menghadapi berbagai tantangan, seperti kurangnya minat generasi muda untuk mempelajari kesenian ini. Selain itu, modernisasi dan globalisasi juga dapat menggeser popularitas tanjidor.
Upaya pelestarian tanjidor perlu dilakukan agar kesenian ini tidak punah. Beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah:
Pengenalan tanjidor kepada generasi muda melalui sekolah dan kegiatan edukasi. Pengembangan dan penyesuaian tanjidor dengan era modern. Promosi dan publikasi tanjidor kepada masyarakat luas.
Dengan upaya pelestarian yang berkelanjutan, tanjidor akan terus hidup dan menjadi bagian dari budaya Betawi yang dibanggakan.(red)