Min.co.id ~ Jakarta ~ Kala angka putus sekolah terus menghantui negeri ini layaknya bayangan senja yang tak kunjung menghilang, sebuah cahaya perlahan menyala dari lorong-lorong sunyi kemiskinan. Cahaya itu bernama Sekolah Rakyat (SR) sebuah konsep pendidikan berpijak pada semangat kesetaraan dan cita rasa keberpihakan terhadap wong cilik.
Tak kurang dari 2,4 juta anak Indonesia tercatat putus sekolah dalam tahun ajaran 2023/2024. Angka itu bukan sekadar statistik. Ia adalah cerita pilu dari sudut-sudut kota hingga pelosok desa. Di baliknya ada anak-anak yang harus meninggalkan bangku sekolah karena harus mengayuh becak mini, memulung botol plastik, atau sekadar menjadi saksi diam impian yang tak sempat tumbuh.
Masalah utamanya bukan ketiadaan sekolah jumlah sekolah terus bertambah. Namun, kesenjangan ekonomi menjadi tembok besar yang sulit dilompati oleh keluarga miskin. Menurut Survei Ekonomi Nasional 2021, 76 persen anak putus sekolah karena tak mampu secara finansial.
Maka, di bawah komando Presiden Prabowo Subianto, lahirlah gagasan revolusioner namun bersahaja Sekolah Rakyat bukan sekadar tempat belajar, melainkan rumah harapan. Dimulai dari tahun ajaran 2025/2026, pemerintah menargetkan 40 SR diresmikan pada Juli, menyusul 160 lagi hingga Desember 2025.
Tak asing bagi sejarah, nama “Sekolah Rakyat” membawa kembali ingatan pada Volkschool, sekolah dasar bagi kaum pribumi semasa kolonial yang mulai hadir sejak 1892. Kini, ia dibangkitkan kembali, bukan dengan semangat kolonial, melainkan dengan tekad merdeka untuk memutus rantai kemiskinan struktural.
SR akan berbentuk sekolah berasrama (boarding school) gratis. Menjadi tempat perlindungan dan pembelajaran bagi: Anak-anak jalanan , Anak dari keluarga sangat miskin , Anak yang tidak memiliki akses terhadap pendidikan layak
Uniknya, bukan Kementerian Pendidikan yang mengelola sekolah ini, melainkan Kementerian Sosial (Kemensos). Menteri Sosial Saifullah Yusuf atau Gus Ipul, menyebutnya sebagai “proyek kemanusiaan yang menjunjung harkat kaum kecil.”
“Presiden ingin memuliakan keluarga miskin, agar mereka bisa bangkit dan berperan di Indonesia Emas 2045,” tegas Gus Ipul (25/3/2025).
Sebanyak 53 bangunan milik Kemensos di hampir seluruh provinsi kini tengah disiapkan. Dari Aceh hingga Papua, aset seperti Sentra, Balai Diklat, hingga gedung-gedung potensial lainnya akan bertransformasi menjadi ruang kelas yang hangat dan inklusif.
Tak berhenti di sana, pemerintah daerah juga ikut menyumbangkan lahan dan bangunan untuk SR. Bahkan ada yang menawarkan tanah seluas 5 hingga 10 hektare, sebuah bukti antusiasme dan sinergi lintas lembaga.
Ketua Tim Formatur Sekolah Rakyat, Prof. M. Nuh, mantan Mendikbud yang kini jadi penggerak semangat ini, menegaskan:
“Sekolah Rakyat tidak hadir untuk menggantikan sekolah yang sudah ada. Ia hadir di tempat yang sistem pendidikan belum mampu menjangkau.”
Pemilihan lokasi SR dilakukan dengan metode pemetaan cermat berdasarkan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN). Fokusnya adalah anak-anak dari keluarga dengan desil ekonomi terbawah, mereka yang nyaris tak terdengar suaranya di ruang-ruang diskusi pendidikan.
Dengan pendekatan yang bersifat intervensi sosial sekaligus pendidikan, Sekolah Rakyat adalah manifestasi konkrit dari sila ke-5 Pancasila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ia bukan hanya menyelamatkan masa depan individu, tapi juga memperkuat jaringan sosial bangsa, menciptakan generasi tangguh yang siap mengubah nasib lewat ilmu dan keterampilan.
Seperti kata pepatah, “Sehelai baju tak bisa menutupi luka struktural. Tapi selembar ilmu, bisa membungkus masa depan.”
Maka, ketika lonceng sekolah berbunyi dari balik bangunan tua yang disulap jadi sekolah baru, itu bukan sekadar tanda dimulainya pelajaran. Itu adalah lonceng perlawanan terhadap kemiskinan dan Indonesia baru saja mengambil langkah besar untuk memenangkannya. (*)
Editor : Achmad