Min.co.id-NTB-Tempat ini namanya adalah Desa Bilebante, satu dari 11 desa yang terdapat di Kecamatan Pringgarata, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.
Dari pusat kota Mataram, Bilebante jaraknya sekitar 16 kilometer, dapat ditempuh sekitar 15–20 menit. Jika dari Bandar Udara Internasional Zainuddin Abdul Madjid, Praya, jaraknya sekitar 24 km dapat dicapai dalam 37 menit.
Setelah menyusuri Jl Tuan Guru Haji Mustafa Al Khalidy sepanjang lima kilometer, sebuah gapura besi akan langsung menyambut tak jauh dari Sekolah Dasar Negeri Tapon. “Selamat Datang di Desa Hijau Bilebante”, begitu bunyi tulisan di pucuk gapura dan berdiri di atas Jl Raya Bilebante, ruas utama selebar lima meter menuju desa asri berpenduduk sekitar 6.000 jiwa dengan mayoritas beragama Islam dan ratusan lainnya penganut Hindu.
Semilir angin dan pemandangan hijaunya alam mampu menangkal cuaca panas Pulau Lombok. Rupanya keasrian alam lewat hijaunya padi di 212 hektare (ha) lahan persawahan dan 87 ha kebun sejauh mata memandang menjadi alasan tersematnya identitas Bilebante sebagai desa hijau.
Siapa sangka kalau tadinya desa ini lebih dikenal sebagai kawasan penambangan pasir, sumber pendapatan warga selain bertani. Bahkan dahulu, nyaris tak ada yang dapat dibanggakan dari desa ini. Tidak ada gunung, pantai, hutan, bukit, dan air terjun yang menjadi pesona alam Pulau Lombok. Setidaknya itulah yang diungkapkan Ketua Kelompok Sadar Wisata Bilebante, Pahrul Azim, yang juga menjabat Direktur Desa Wisata Hijau Bilebante.
“Di desa kami hanya ada sawah, petani, dan bebek. Tidak ada bayangan bahwa tempat ini bakal menjadi desa wisata utama di Lombok. Apalagi banyak dari warga desa kami memilih sebagai pekerja migran Indonesia (PMI),” kata Pahrul dalam bincang virtual Karya Kreatif Indonesia yang digelar Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Ekonomi Kreatif beberapa waktu lalu.
Mereka mendapat pelatihan dari Gesellschaft fur Internationale Zusammenarbeit (GIZ) melalui kerja sama Indonesia-Jerman dan Badan Perencanaan Pembangunan (Bappenas) pada 4 April 2015. Lewat pelatihan itu, pemahamannya terhadap desa wisata perlahan berubah. Ternyata, yang disebut sebagai desa wisata adalah bagaimana segenap lapisan masyarakatnya mampu menjaga keaslian suasana kehidupan desa mereka dan menghadirkan sebuah pengalaman berbeda bagi orang luar desa.
Gowes Keliling Desa
Kemudian, pada 2017 lembaga sosiopreneur Institute of Social Economic Digital (ISED) menggelar pelatihan literasi pengelolaan keuangan yang benar bagi ibu-ibu rumah tangga. Pahrul dan masyarakat Desa Bilebante bersepakat untuk mengembangkan segenap potensi di desa mereka menjadi objek wisata. Tujuannya, untuk peningkatan kesejahteraan bersama.
Wisata bersepeda keliling desa menjadi awal percontohannya. Dimulai dari depan Kantor Sekretariat Desa Wisata Bilebante, melintasi permukiman warga dan lanjut melewati jalan setapak yang membelah hamparan sawah. Lalu singgah ke kawasan masyarakat Hindu untuk belajar budaya mereka.
Di kawasan ini juga kita bisa mampir ke Pura Lingsar Kelod, tempat ibadat umat Hindu tertua di Lombok Tengah yang telah berdiri sejak tahun 1822 lampau. Kita juga akan disuguhi musik tradisional bale ganjur dari masyarakat Bilebante beragama Hindu. Jenis wisata gowes sepeda ini sempat viral beberapa waktu lalu dan begitu diminati warga lokal Lombok, turis Nusantara serta asing.
Pasar Pancingan
Proyek percontohan tak berhenti sampai di gowes sepeda itu saja. Pokdarwis Bilebante bersama komunitas anak-anak muda Generasi Pesona Indonesia (Genpi) kemudian mencoba membangun sebuah atraksi baru yang menarik wisatawan sekaligus mengangkat potensi desa.
Lalu terciptalah Pasar Pancingan, beroperasi tiap hari Minggu mulai jam 7 pagi hinga 14.00 Wita. Modelnya meniru pasar pekan yang masih dapat dijumpai di sejumlah desa di di Lombok. Lapak berjualannya pun dibuat dari bilah-bilah bambu dan alang-alang dan para penjualnya berpakaian khas Sasak, suku asli Pulau Lombok.
Bedanya, di Pasar Pancingan ini kita juga bisa memancing di kolam pemancingan dari bekas lubang galian pasir sebagai daya tarik utama. Sambil menikmati hiburan rakyat dan pertunjukan musik D’Gong Gress. Kita juga bisa mencicipi lebih dari 30 kuliner khas masyarakat Sasak seperti ayam merangkat atau gulai ayam kampung yang dagingnya telah dibakar, ebatan atau salad, clorot atau dodol Lombok dibalut daun kelapa, plecing kangkung, dan ayam taliwang.
Wadah tempat makan menggunakan daun pisang dan alat transaksinya memakai uang kepeng. Harga kuliner yang ditawarkan sangat bersahabat. Apabila pengunjung ingin bertransaksi, harus menukar uang di tempat penukaran uang.
Pengelola menyediakan uang kepeng dengan nilai dari 2,5, 5, dan 10. Uang kepeng 2,5 bernilai Rp2.500, kepeng 5 bernilai Rp5.000 dan kepeng 10 bernilai Rp10.000. Bila uang kepeng masih sisa, dapat menukar kembali sisanya di tempat yang sama untuk menjadi uang biasa. Sebelum pandemi menerjang, pasar ini dikunjungi oleh sedikitnya 800 orang, umumnya warga seputar Lombok dan turis Nusantara.
Kebun Herbal
Tak hanya gowes keliling desa atau wisata Pasar Pancingan saja. Bilebante juga punya Kebun Herbal seluas 400 meter persegi yang dibangun oleh Martha Tilaar Group. Terdapat sekitar 200 jenis tanaman obat, misalnya jawer kotok (Coleus ascutellarodes) yang berkhasiat menyembuhkan sakit pinggang dan wasir. Atau binahong (Adredera cordifolia) untuk mengobati asam urat, tipus, dan mencegah stroke.
Bukan itu saja, Kebun Herbal ini berhasil mengembangkan minuman sejenis jamu bernama lemongrass tea atau serbat dalam bahasa lokal. Bahan dasarnya sereh, secang, kunyit dipadu gula pasir dan gula aren. Bahkan penduduk Bilebante telah memproduksi massal lemongrass tea ini dengan merek dagang Mulegati berukuran 200 gram seharga Rp25.000 per boks. Setiap bulannya mampu meraih pendapatan Rp10 juta.
Menteri Parekraf/Kepala Barekraf Sandiaga Salahuddin Uno saat mengunjungi Bilebante, 15 Januari 2021, sempat mencicipi minuman herbal ini. “Ini namanya lemongrass tea atau serbat campuran terbuat dari rempah-rempah berkualitas dan menjadi minuman khas Lombok jika berkunjung ke Bilebante,” kata Sandiaga sambil mengangkat gelas cokelat dari kayu pohon kelapa dan meneguk lemongrass tea. Ia pun turut memberi nama baru bagi minuman sehat ini yaitu LGT Uno.
Di tempat ini juga dibangun pondok-pondok terbuka beratap hijau menghadap persawahan untuk terapis kebugaran sambil menikmati semilir angin dan suasana persawahan. Layanan spa di sini meliputi body massage, body scrub, body masker, hand and foot massage, facial treatment, face massage, dan refleksi.
Sesuai Peraturan Daerah NTB nomor 2 tahun 2019 tentang Kepemudaan, terapis laki-laki hanya melayani pengunjung laki-laki, begitu pula untuk terapis perempuannya. Pelatihan dan pengembangannya mendapat supervisi langsung dari manajemen Martha Tilaar. Para terapisnya adalah penduduk Bilebante yang telah mendapat pelatihan khusus.
Masih ada wisata Lembah Gardena sebuah taman yang dulunya merupakan area bekas galian pasir. Berkonsep ekowisata, wisatawan akan disuguhi beragam tanaman dan pepohonan indah yang tumbuh asri di sana. Selain itu, di sana juga ada sebuah kolam berbentuk hati yang dapat dijadikan sebagai spot foto.
Desa ini juga mengembangkan kuliner tradisional bernama serabi rumput laut. Rumput lautnya dikembangbiakkan pada lahan persawahan warga, unik bukan? Ada lagi keripik tortila berbahan jagung, kolangkaling dan singkong yang semuanya diperoleh dengan mudah dari lingkungan Bilebante. Kita juga bisa ikut mengetahui proses pembuatannya lewat kegiatan cooking class.
Dari penjualan produk tortila dalam kemasan toples didapat hasil Rp25 juta per bulannya. Ide-ide itu dicetuskan oleh Penggerak UMKM Desa Bilebante, Zainab. Tak perlu takut kemalaman karena desa ini juga menyediakan penginapan di rumah warga atau homestay dengan biaya Rp175.000-Rp225.000 per malamnya.
Alhasil, sebelum pandemi mendera, Pahrul mencatat ada lebih dari 3.000 orang mengunjungi desanya setiap bulan. Sejumlah penghargaan juga telah diraih Desa Wisata Hijau Bilebante karena kemampuannya menggerakkan roda perekonomian lokal.
Misalnya, penghargaan sebagai Desa Terbaik 2017 pada ajang Desa Wisata Award 2017 dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Bilebante juga meraih juara kedua kategori Desa Wisata Alam pada BCA Desa Wisata Award 2021. Bilebante juga menjadi desa wisata pertama di Bumi Gora sebagai percontohan desa tangguh bencana dan penerima Sertifikasi Desa Wisata (Serti Dewi) pada 2020.
Mereka juga telah mengantongi Sertifikat Kebersihan, Kesehatan, Keselamatan, dan Kelestarian Lingkungan atau Cleanliness, Health, Safety, Environment Sustainability (CHSE) dari Kementerian Parekraf bersama dua desa wisata lainnya di NTB pada 2021 lalu.
Bilebante adalah satu di antara 61 desa wisata yang ada di Lombok Tengah yang bisa menjadi destinasi wisata para penonton Pertamina Grand Prix of Indonesia, 18-20 Maret 2022. Jangan lupa untuk tetap patuhi protokol kesehatan memakai masker, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, serta menjaga jarak. Selamat berwisata!
sumber : ind.go.id