Belajar Penanganan Stunting dari Bali

Ke depan, model pencegahan dan penanganan stunting yang dilakukan Bali akan menjadi model percontohan bagi semua daerah di Indonesia

Min.co.id-Bali-Keberhasilan Provinsi Bali dalam menekan kasus stunting mendapat perhatian besar dari pemerintah pusat. Penanganan kasus stunting atau kekerdilan pada balita di Pulau Dewata dinilai bisa menjadi contoh bagi daerah lainnya.

Prevalensi stunting di Bali saat ini berada di angka 10,9 persen. Angka itu jauh lebih rendah dibanding angka prevalensi stunting secara nasional sebesar 24,4 persen dan angka prevalensi stunting di dunia menurut WHO pada 2021, yakni sebesar 22 persen.

“Bali memang terendah secara nasional. Model ini kita angkat sekarang secara nasional,” ucap Kepala Badan Koordinasi Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo dalam dialog Forum Merdeka Barat 9 (FMB9), pada Senin (4/4/2022).

Dialog “Cegah Stunting, Tingkatkan Daya Saing” itu dibuka Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin.

Selain Hasto Wardoyo, hadir sebagai pembicara dalam FMB9 itu Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, Kementerian Kesehatan RI, Erna Mulati, dan Plt Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Bali Mandara Provinsi Bali Ketut Suarjaya.

Dalam kesempatan itu, Hasto juga mengungkapkan pentingnya data yang valid dan real time bagi intervensi dalam penurunan kasus stunting. “Harus mengerucut. Nah, mengerucutnya ini harus menuju satu titik. Satu titik ini adalah data,” tegas Hasto.

Hasto menyebut ada beberapa daerah dengan angka stunting tertinggi. Di antaranya, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Barat, dan Aceh.

Saat berkunjung ke NTT, Hasto melihat bahwa lingkungan menjadi salah satu faktor penyebab stunting. Faktor lingkungan itu, di antaranya, air bersih, rumah tak layak huni, hingga jamban yang harus diperhatikan. “Di NTT, kalau kami lihat stunting dipicu faktor lingkungan. Itu menjadi masalah yang masih penting untuk diperhatikan. Persoalan air bersih, rumah tidak layak huni, dan juga jamban dikenal sebagai faktor sensitif,” ujar Hasto.

Jika faktor lingkungan kurang bagus, dapat berdampak pada kesehatan anak. Sehingga, mudah sakit dan berat badan sulit naik. “Kalau itu (faktor lingkungan) kurang bagus, anak mudah sakit dan berat badannya tidak naik, dan (masalah) seterusnya, seperti diare, TBC,” ucap dia.

Berangkat dari faktor lingkungan itu, Hasto mengatakan, dampak pada anak di antaranya bisa menyebabkan stunting. Maka dia pun menyarankan, pemberian makanan tambahan dapat lebih diberdayakan dan sampai tepat waktu, anggaran penanganan stunting dapat diberikan langsung kepada tim pendamping keluarga (TPK) di setiap desa.

Hasto mengatakan, anggaran itu bisa digunakan para TPK untuk mengelola produk lokal yang memiliki protein hewani tinggi sehingga dapat mencegah terjadinya stunting di dalam keluarga. “Tidak usah yang mahal-mahal, lele, ikan kembung, sudah mengandung DHA dan Omega-3,” kata Hasto.

Hasto mengungkapkan, untuk mencapai target 14 persen membutuhkan penurunan 3 persen menuju percepatan penurunan stunting di 2024. “Kalau kita ingin menuju angka 14% sesuai dengan arahan presiden, pada 2024, maka dibutuhkan paling tidak 3% sehingga membutuhkan percepatan penurunan menuju ke 2024,” ucap dia.

Sementara itu, Plt Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Bali Mandara Provinsi Bali Ketut Suarjaya mengatakan, stunting sebenarnya bisa dicegah. Salah satunya, dengan mengubah perilaku masyarakat, yakni mindset atau perilaku untuk hidup sehat.

Pada awal penanganan stunting, menurut Ketut, Provinsi Bali memiliki angka stunting cukup tinggi, yaitu sebesar 34 persen. Angka itu lebih besar dari angka prevalensi nasional yang ketika itu berada di angka 30 persen.

Namun secara perlahan, angka itu semakin ditekan dan terus menurun hingga kini mencapai 10,9 persen. Ketut Suarjaya berharap, angka itu dapat terus ditekan hingga 6,19 persen pada 2024, atau di akhir masa Pemerintahan Joko Widodo.

“Tahun ini, paling tidak, bisa turun mencapai sembilan persen. Kemudian pada 2023 diharapkan menjadi tujuh persen. Dan pada 2024, kami berharap angka stunting di Bali sudah mencapai 6,19 persen,” ucap Ketut Suarjaya.

Walau begitu, kini di Provinsi Bali masih ada tiga kabupaten yang angka stunting-nya di atas rata-rata. Yaitu, di Karangasem sebesar 22,9 persen, Klungkung 19,4 persen, dan Jembrana 14,3 persen.

Wakil Presiden Maruf Amin, ketika membuka acara “Cegah Stunting, Tingkatkan Daya Saing” di FMB9, mengatakan bahwa salah salah satu capaian di bidang ekonomi yang patut disyukuri yakni keberhasilan Indonesia menekan angka kemiskinan hingga di bawah 10 persen. Namun, Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah (PR) mengenai gizi anak.

“Di balik capaian tersebut, Indonesia masih mengalami permasalahan gizi kronis, pada anak dan ibu hamil. Kekurangan gizi ini mencakup berat badan kurang, balita kurus, serta stunting,” ujar Maruf.

Maruf mengungkapkan, prevalensi stunting balita pada 2018 mencapai 30,8 persen. Artinya, hampir satu dari tiga anak Indonesia mengalami kekurangan gizi dalam jangka waktu lama, yaitu pada 1.000 hari pertama kehidupan. Sementara itu, batas toleransi yang ditetapkan WHO adalah di bawah 20 persen.

Ma’ruf menuturkan, terjadi penurunan stunting dalam tiga tahun terakhir. Berdasarkan  hasil survei Studi Status Gizi Indonesia atau SSGI 2021 terjadi penurunan dari 30,8 persen menjadi 24,4 persen pada 2021. “Komitmen pemerintah tentu tidak lantas berhenti dengan capaian tersebut, target kita sekarang angka stunting dapat ditekan hingga 14 persen pada 2024,” katanya.

Ia juga menyebut, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. “Perpres ini mengadopsi strategi nasional (stranas) stunting yang telah ada, sembari memberikan penguatan pada beberapa aspek pokok,” katanya.

sumber:indonesia.go.id

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *