Min.co.id – United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada sesi ke-43 Pertemuan Komite Warisan Dunia di Kota Baku, Azerbaijan pada Sabtu, 6 Juli 2019, telah menetapkan Tambang Batu Bara Ombilin (TBBO) Sawahlunto, Sumatera Barat sebagai salah satu situs warisan dunia.
Ombilin menjadi situs warisan dunia di Indonesia ke-5 setelah Candi Borobudur dan Prambanan (1991), situs sejarah manusia purba Sangiran di Sragen (1996), dan sistem irigasi persawahan Subak di Bali (2012).
Terletak 95 km sebelah timur laut kota Padang, Sawahlunto dulu hanya merupakan sebuah lembah subur yang dijadikan sawah oleh warga setempat. Lembah tersebut dibelah oleh aliran sungai Lunto.
Nama Sawahlunto sendiri diambil dari kata “sawah” dan sungai “Lunto”. Lembah sungai lunto yang subur itu kemudian beralih fungsi menjadi daerah pertambangan batubara.
Sampai pada 1868, geolog muda Belanda bernama Willem Hendrik de Greeve menemukan kandungan batubara di Ombilin, Sawahlunto. Laporan ke Batavia mengenai penemuan ini disusun pada 1871 dengan judul “Het Ombilin-kolenveld in de Padangsche Bovenlanden en het transportstelsel op Sumatra Weskust.”
Setelah diketahui kandungan sumber daya alam dan potensi ekonominya, pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk melanjutkan eksplorasi. Pada akhirnya dimulai pula pembangunan infrastruktur tambang dan pendukungnya di Sawahlunto. Pembangunan infrastruktur tersebut dilakukan pada tahun 1883 hingga 1894.
“Sebelum penemuan minyak dan sumber bahan bakar lainnya, batubara berperan penting dalam mendukung berbagai kegiatan perekonomian,” tulis Erwiza Erman dalam buku Membaranya Batubara: Konflik Kelas dan Etnik Ombilin-Sawahlunto-Sumatera Barat 1892-1996 (2016).
Pada 1872, de Greeve kembali melakukan eksplorasi lanjutan di Sumatera Barat. Namun nasib sial, penemu batubara di Ombilin ini tewas setelah mengalami kecelakaan di Sungai Indragiri saat melakukan penelitian. Penelitian de Greeve kemudian dilanjutkan oleh dua insinyur tambang asal Belanda lainnya, Jacobus Leonardus Cluysenaer dan Daniel David Veth pada tahu 1874.
Veth kemudian juga menulis laporan yang berjudul “The Expedition to Central Sumatra”. Menurut Erwiza dalam bukunya, inilah yang mendasari pembangunan jalur kereta api dari lokasi eksploitasi tambang menuju pelabuhan Emmahaven (dikenal sebagai Teluk Bayur).
Terkait pengembangan pengelola tambang di Ombilin Sawahlunto, Cluysenaer menulis tiga laporan rinci tersebut pada 1875 dan 1878. Seperti pada laporanya, Cluysenaer menawarkan anggaran yang lebih rasional untuk rel kereta yang membelah lembah barat-timur, misalnya, membutuhkan biaya sekitar 24,4 juta gulden.
Dikutip dari buku Dinamika Kota Tambang Sawahlunto: Dari Ekonomi Kapitalis ke Ekonomi Rakyat (2006) yang ditulis Erwiza Erman dan kawan-kawan, Rancangan Undang-Undang (RUU) pertambangan batubara Ombilin disahkan oleh parlemen Belanda pada 24 November 1891.
Jalur rel kereta dari Sawahlunto ke pelabuhan Teluk Bayur telah ada sejak tahun 1894 yang digunakan untuk mengangkut hasil tambang batubara sekaligus alat transportasi. Setalah diangkut meggunakan kereta api, hasil tambang tersebut di ekspor menggunakan kapal uap SS Sawahlunto dan SS Ombilin-Nederland.
Sebagai fasilitas pendukung, stasiun kereta api Sawahlunto dengan fasilitas memadai baru dibangun pada 1918. Kini stasiun kereta api tersebut dijadikan sebagai museum kereta api.
Salah satu lubang tambang yang terkenal di Ombilin Sawahlunto adalah lubang tambang Mbah Suro, yang sudah dibuka untuk umum sejak 2007 lalu. Nama Mbah Suro sendiri diambil dari nama seorang mandor bernama Soerono yang ditugaskan pemerintah Hindia Belanda pada awal abad 20 untuk mengawasi kegiatan pertambangan.
Konon ada beberapa versi cerita mengenai sosok mandor yang didatangkan dari tanah Jawa ini. Menurut cerita, mbah Suro adalah seorang pekerja keras, tegas, dan taat beragama serta disegani karena dipercaya memiliki ilmu kebal.
Sementara versi lain menyebut mbah Suro merupakan seorang mandor yang kejam, sering menyiksa anak buahnya menggunakan cambuk. Terlepas dari itu, mbah Suro merupakan orang yang berpengaruh dalam kegiatan pertambangan di Sawahlunto sehingga namanya diabadikan menjadi situs wisata ini.
Pembuatan terowongan ini diceritakan juga mengerahkan pekerja paksa yang berasal dari berbagai penjara seperti Jawa, Sulawesi, Medan, dan Padang, alias para narapidana. Di Sawahlunto inilah para narapidana tersebut dipekerjakan untuk membuat terowongan tambang.
Pekerja paksa ini dikenal juga dengan sebutan orang rantai karena dalam kegiatan penambangannya kaki mereka dirantai. Siksaan berupa cambukan seringkali mereka terima dari mandor, makanan yang diberikanpun terbatas, tak ayal banyak orang rantai yang meninggal selama berlangsungnya kerja paksa itu.
Semetara untuk memasok kebutuhan makanan pekerja tambang, dibuatlah dapur umum yang dibangun pada 1918. Dapur umum itu juga bertanggungjawab pada ketersediaan makanan pasien rumah sakit di Sawahlunto.
Banyak orang dipekerjakan di dapur umum ini termasuk juga anak-anak. Bangunan dapur umum itu terbilang luas dengan alat masak raksasa. Untuk mendukung proses penyediaan makanan, dapur umum ini dilengkapi dengan peralatan masak paling modern di masa itu.
Bahkan di awal abad 20, perlengkapan dapur modern di Sawahlunto menjadi yang pertama ada di Indonesia. Kini dapur umum tersebut telah berubah fungsi menjadi Museum Goedang Ransum. (Sumber: Indonesia.go.id)