SURABAYA | Dalam semesta kuliner Nusantara yang tak pernah tidur, ada satu hidangan yang selalu berhasil mencuri perhatian tanpa perlu berteriak Pindang Gombyang Manyung.
Hidangan ini bukan pendatang baru, melainkan “tetua rasa” yang sudah sejak lama mengisi meja makan masyarakat pesisir Indonesia namun pesonanya terus hidup hingga kini.
Berbahan dasar ikan manyung yang berserat lembut dan kaya aroma laut, sajian ini hadir dengan kuah pindang yang memadukan asam, pedas, manis, dan gurih dalam satu tarikan napas.
Begitu dihidangkan, uapnya membawa wangi kunyit, lengkuas, daun salam, dan bawang-bawangan yang menggoda, seolah mengajak siapa saja untuk duduk dan menikmati cerita rasa yang diwariskan turun-temurun.
Bagi sebagian orang, Pindang Gombyang Manyung bukan hanya makanan ia adalah narasi hidup. Ia lahir dari dapur sederhana, disempurnakan oleh tangan-tangan yang mengerti betul bagaimana memadukan rempah dan hasil laut. Dalam setiap seruput kuahnya, terdapat filosofi tentang kesederhanaan yang elegan dan harmoni yang diracik tanpa tergesa.
Hidangan ini kerap hadir dalam momen kebersamaan dari santap keluarga hingga jamuan tradisional. Ia membawa pesan lama yang masih relevan hari ini bahwa makanan terbaik adalah yang mempersatukan dan membuat orang kembali ke akar budaya sendiri.
Popularitas Pindang Gombyang Manyung kini mulai merambah berbagai daerah. Sebagai kuliner lokal yang penuh karakter, ia menjadi ikon baru yang mengangkat kembali kekayaan dapur Nusantara.
Warung-warung tradisional hingga restoran modern mulai memasukkan hidangan ini ke dalam menu unggulan, membuktikan bahwa kelezatan autentik tak pernah kalah oleh tren.
Lebih dari sekadar santapan, Pindang Gombyang Manyung adalah bukti bahwa kuliner dapat menjadi medium untuk merawat identitas bangsa. Ia mengajarkan bahwa rasa bukan hanya soal lidah, tetapi juga cerita, tradisi, dan kebanggaan.
Dalam satu piring, Pindang Gombyang Manyung menghadirkan laut, tanah, dan budaya dalam satu kesatuan utuh. Setiap suapannya adalah perjalanan waktu dari masa lampau hingga kini yang terus hidup dalam dapur-dapur Nusantara.
Dan selama masih ada rempah, laut, dan tangan-tangan yang merawat tradisi, Gombyang akan terus menggoyang, tanpa kehilangan kesan antik dan daya pikatnya. (*)








Komentar