SURABAYA | Di tengah derasnya arus informasi yang kerap berubah menjadi badai misinformasi, Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) kembali mengibarkan bendera gerakan literasi digital melalui Workshop Pengelolaan Akses dan Aset Konten Informasi Publik dalam program SOHIB Berkelas Surabaya.
Misi utamanya jelas: menata ruang digital Indonesia agar lebih sehat, aman, dan beradab.
Tiga narasumber kunci hadir membedah “anatomi” peradaban digital masa kini, Andrean Weby Finaka, Ketua Tim Pengelola Media Sosial Ditjen KPM Kemkomdigi, Mufti A. Sholih, Eksekutif Produser Narasi TV, Singgih Aji Abiyuga, Head of Production Indonesia.go.id.
Mereka bukan sekadar memberikan materi, tetapi memetakan ulang cara publik seharusnya bersikap, berpikir, dan berperan di dunia maya.
Mufti A. Sholih membuka mata peserta lewat pesan yang menohok, “Etika bukan cuma soal benar-salah teknis, tapi nilai moral yang mengatur perilaku kita di ruang digital.”
Menurutnya, kekerasan verbal yang dianggap ringan—mulai dari celaan hingga cyberbullying bisa meninggalkan luka psikologis dalam. Ia mengungkit contoh kasus viral “bullying bau ketek,” yang tampak sepele, namun sarat unsur kekerasan simbolik dan seksual.
Alasan masyarakat harus mempraktikkan etika digital sangat fundamental, Menghargai sesama dan mencegah kekerasan verbal, Mengambil tanggung jawab kolektif dalam melawan misinformasi dan disinformasi.
Dalam sesi lanjutan, Mufti memberi “alat perang” menghadapi banjir informasi, Cek kredibilitas media, Telusuri rekam jejak unggahan, Cocokkan klaim dengan gambar/video, Gunakan TinEye, Google Image, Yandex, Periksa metadata bila perlu
Ia juga menjelaskan dua konsep verifikasi dan falsifikasi yang sering disalahpahami.
Menurutnya, Verifikasi: Mencari kebenaran klaim, Falsifikasi: Mencari kesalahan atau celah dari sebuah klaim
“Keduanya penting, tetapi dalam konsumsi informasi publik, verifikasi harus jadi pagar pertama,” tegasnya.
Andrean Weby Finaka menegaskan bahwa kanal resmi pemerintah harus menjadi “pelabuhan kepercayaan” bagi masyarakat. Karena itu, setiap pengelola kanal wajib, menjaga integritas data, memastikan akurasi pesan, menyajikan konten yang mudah dipahami, dan berbasis bukti.
“Kredibilitas lahir dari etika dan ketelitian,” ujarnya.
Sementara itu, Singgih Aji Abiyuga mengingatkan bahwa konten pemerintah tidak boleh terasa kaku. Narasi yang relevan, membumi, dan humanis akan membuat publik merasa dekat, bukan sekadar disuguhi data kering.
Para narasumber sepakat: sebelum bicara soal keamanan siber, budaya digital, atau tanggung jawab digital, etika digital harus dibenahi terlebih dahulu.
Tanpanya, ruang maya akan mudah dipenuhi, kekerasan, polarisasi, misinformasi, konten manipulatif, hingga propaganda.
Workshop SOHIB Berkelas Surabaya menjadi wujud nyata komitmen Kemkomdigi dalam merawat ekosistem digital Indonesia. Para peserta mahasiswa, kreator konten muda, dan pengelola media kampus diajak menjadi garda depan penjaga literasi dan keselamatan digital.
Upaya ini sejalan dengan tekad besar: menjadikan ruang digital Indonesia sebagai ruang bersama yang beradab, tempat informasi dapat dipercaya, dan tempat setiap warga digital memikul tanggung jawab moral.
Dengan kolaborasi pemerintah, media, dan publik, nilai etika digital diharapkan tak hanya menjadi jargon, tetapi benar-benar membumi dan menjadi karakter utama warga digital Indonesia. (*)






Komentar