Banda Neira: Pulau Pala yang Menjelma Laboratorium Biru di Tengah Samudra

BANDA NEIRA |  Di antara riak Laut Banda yang memantulkan cahaya keperakan, sebuah pulau kecil terus menulis ulang takdirnya. Banda Neira—dulu pusat perebutan pala dunia—kini kembali menjadi perhatian global, bukan lagi karena rempah, melainkan karena kemampuannya merangkai alam, budaya, dan ekonomi dalam satu napas keberlanjutan.

Dahulu, bau pala dari pulau kecil ini menggetarkan bangsa-bangsa Eropa. Kini, aroma yang mengalir dari Banda bukan hanya rempah, tetapi semangat baru masyarakatnya yang memilih menjaga laut sebagai warisan paling berharga.

Masyarakat Banda Neira kini bergerak dalam harmoni. Nelayan tak lagi mengejar volume, tetapi menjaga ritme laut.

“Dulu orang hanya menghitung hasil tangkapan. Sekarang kami melihat bahwa karang yang sehat adalah investasi masa depan,” kata salah satu tokoh masyarakat.

Warga menanam terumbu karang buatan, menggunakan alat tangkap selektif, dan mengelola jalur snorkeling secara gotong royong. Banda bukan lagi hanya lokasi wisata, tetapi kelas terbuka tentang bagaimana manusia hidup berdampingan dengan laut.

Lewat program Banda Dive Heritage Trail, pengunjung bukan sekadar diajak menyelam menikmati karang, tetapi juga memahami jejak kolonial, benteng Belgica, rumah-rumah tua, hingga kisah pengasingan Bung Hatta.

Sebagian pendapatan tur dialirkan ke konservasi laut dan UMKM pesisir, termasuk pelatihan pemandu wisata, kuliner ramah laut, hingga ekonomi kreatif berbasis budaya rempah.

Banda Neira kini menjadi etalase nasional ekonomi biru. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Program Laut untuk Kesejahteraan (LAUTRA) menetapkan Banda sebagai model integrasi konservasi, arkeologi, dan budaya maritim.

“Kami ingin membangun model pengelolaan laut yang bukan hanya lestari, tetapi juga mensejahterakan,” ujar Dirjen Pengelolaan Kelautan, Koswara, dalam siaran resmi KKP, Minggu (26/10/2025).

Program LAUTRA menyentuh, 11 provinsi, 20 kawasan konservasi, 3 Wilayah Pengelolaan Perikanan, Total area 8,3 juta hektare

Dengan target 75 ribu penerima manfaat langsung, termasuk 30 persen perempuan pesisir, program ini mengangkat Banda sebagai “laboratorium hidup”.

Skema pendanaannya pun menarik: hibah mulai Rp150 juta hingga Rp1,25 miliar untuk UMKM biru yang ramah lingkungan.

Rektor Universitas Banda Neira, Dr. Muhammad Farid, menyebut pulau ini sebagai contoh dunia nyata bagaimana sejarah dan ekologi dapat bertaut menghasilkan ekonomi baru.

Sementara Dr. Kastana Sapanli dari IPB University menegaskan Banda Neira sebagai titik istimewa di Coral Triangle sekaligus Spice Islands, dua identitas global yang memperkuat potensi eco-diving, agrowisata pala, dan wisata rempah bercita rasa sejarah.

Saat matahari melarut di balik Gunung Api Banda, warna jingga meresap ke permukaan laut. Di pantai, anak-anak bermain bola, sementara ibu-ibu menjemur pala dengan santai. Semua bergerak pelan, tetapi pasti. Harmoni itu terasa dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

Di sinilah Banda Neira memberi pelajaran berharga:
bahwa masa depan pesisir bukan ditentukan oleh seberapa banyak yang diambil dari laut, tetapi seberapa besar yang dijaga untuk tetap hidup.

Banda Neira kini bukan hanya legenda rempah, tetapi juga ikon ekonomi biru Nusantara—tempat di mana alam dan budaya tidak hanya lestari, tetapi saling menghidupi. (*)

Komentar

News Feed