SURABAYA | Upaya menciptakan kota yang bersih dan berkelanjutan kembali mendapat dorongan berarti melalui riset inovatif yang dilakukan tim peneliti Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) Malang. Mengusung pendekatan biokonversi berbasis maggot Black Soldier Fly (BSF), penelitian ini menyasar Kampung Berseri Astra (KBA) Kampoeng Oase Ondomohen, Surabaya kampung yang telah dikenal sebagai pionir pengelolaan sampah organik mandiri.
Riset yang digagas Sad Likah, Wahyu Windari, dan Bekti Nur Utami dari Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (UPPM) Polbangtan Malang ini memperoleh dukungan pendanaan DIPA Kementerian Pertanian RI.
Dengan tajuk “Penguatan Kapasitas Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah Melalui Budidaya Maggot BSF untuk Mendukung Produktivitas Ayam Buras di Kawasan Perkotaan Jawa Timur,” penelitian ini membawa misi besar: menemukan model daur ulang sampah organik yang efektif, murah, dan layak diterapkan di wilayah padat penduduk.
Ketua tim peneliti, Sad Likah, menegaskan bahwa riset ini merupakan bagian dari implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi sekaligus jawaban atas isu nasional soal sampah perkotaan. “Kami ingin melihat sejauh mana masyarakat bisa terlibat dalam pengolahan sampah lewat budidaya maggot BSF. Masalah sampah sudah terlalu lama mengancam kota-kota besar,” ujarnya.
Pemilihan Kampoeng Oase Ondomohen bukan tanpa alasan. Kawasan ini telah berhasil membangun sistem pengelolaan sampah berbasis maggot secara mandiri. Keberhasilan tersebut menjadi basis pembanding dengan wilayah lain, termasuk Kota Malang, untuk membangun model pengolahan sampah yang berkelanjutan dan adaptif.
Warga pun menyambut positif hadirnya penelitian ini. Ketua RT 08 RW 07 Ketabang, Endang Sriwulansari, menyebut bahwa edukasi dari tim peneliti semakin memantapkan disiplin warga dalam memilah sampah.
“Maggot sangat membantu mengurai sampah, dan hasilnya bisa jadi pakan ikan. Ini benar-benar solusi yang terasa manfaatnya,” tuturnya.
Sementara Adi Candra, Local Champion KBA Kampoeng Oase, memandang penelitian ini sebagai bentuk nyata kolaborasi multipihak menuju kota berkelanjutan sesuai SDGs poin 11. “Konsepnya life lab laboratorium hidup. Teori langsung dipraktikkan di lapangan. Masyarakat, kampus, dan pemerintah terhubung dalam satu gerakan,” jelasnya.
Didukung berbagai komunitas seperti HPAI, YLBA, PERBANUSA, Forum GRADASI, hingga DPP IFTA, riset ini tak hanya menguji teknologi, tetapi juga membangun gerakan sosial. Melalui pendekatan ilmiah dan partisipatif, Polbangtan Malang menunjukkan bahwa mengolah sampah bukan sekadar urusan teknis, melainkan proses memperkuat budaya lingkungan—dan maggot menjadi simbol perubahan itu. (*)
