BANDUNG | Di tanah Priangan yang berhawa sejuk, ada satu minuman yang tak sekadar menghangatkan tubuh, tapi juga menghadirkan kehangatan cerita bajigur. Ketika malam turun dan kabut perlahan merayap di jalan kampung, dentingan gelas dari gerobak bajigur keliling menjadi isyarat kecil bahwa kehangatan sedang datang mendekat.
Bajigur lahir dari kesederhanaan dapur Sunda pertemuan manis antara gula aren, santan yang lembut, dan jahe yang menguar aroma hangat. Daun pandan ikut menari dalam rebusan, menghadirkan wangi yang membuat siapa pun tak kuasa menolak. Kadang, sang penjual menambahkan sedikit kopi untuk memberi sentuhan pahit yang elegan.
Tak pernah ada bajigur tanpa cerita. Minuman ini paling nikmat diseruput panas-panas, ditemani sajian sederhana seperti pisang kukus, ubi rebus, atau kacang rebus paduan yang terasa seperti pelukan dari masa lalu.
Gerobak bajigur menjadi saksi budaya yang terus hidup. Dengan kompor portabel kecil yang menjaga kuahnya tetap mengepul, para pedagang merayap dari satu sudut kampung ke sudut lainnya, membawa aroma yang mampu menggugah ingatan tentang rumah, tentang orang tua, atau tentang malam yang dulu pernah sunyi.
Bajigur bukan sekadar minuman. Ia adalah tradisi hangat yang mengalir dari generasi ke generasi, menjembatani rasa dan kenangan dalam satu cangkir yang selalu berhasil mengusir dingin, sekaligus menghadirkan kedamaian yang sulit dicari dalam minuman modern. (*)
