Canaya: Kopi ‘Belum Ada’ dari Kamojang yang Kini Mendunia Lewat Panas Bumi

BANDUNG | Aroma kopi tanpa gula menguar lembut dari sebuah gelas kaca di kedai Ecovil, kaki Gunung Kamojang, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung. Di balik harum itu, tersimpan kisah unik tentang secangkir kopi bernama Canaya nama yang terdengar seperti nama seseorang, padahal sejatinya lahir dari inovasi seorang anak muda bernama Moh Ramdan Reza atau Deden.

Pria 34 tahun itu berhasil membawa kopi Kamojang melompat ke panggung dunia dengan cara yang tak biasa. Bukan sekadar bijinya yang istimewa, namun proses pengeringannya yang benar-benar “belum ada” di tempat lain. Kopi Canaya dikeringkan menggunakan Geothermal Coffee Process (GCP), metode pemanfaatan uap buangan panas bumi dari steam trap PLTP Kamojang sebuah inovasi CSR PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) yang dimulai sejak 2018.

Di tengah pipa-pipa panas bumi yang berdenyut stabil menjaga suplai listrik, Deden melihat peluang besar. Ia memanfaatkan panas bumi yang konsisten untuk mengeringkan kopi dengan suhu terkontrol, berbeda dengan pengeringan konvensional yang bergantung pada cuaca dan matahari.

Saya yang memberi nama Canaya. Artinya belum ada karena memang belum ada kopi di dunia yang diproses seperti ini,” ujar Deden.

Dan benar, Canaya kini menjadi kopi pertama di dunia yang dikeringkan dengan energi geothermal.

Sejak 2023, Canaya diperkenalkan dalam berbagai kompetisi dan pameran kopi. Namun sorotan besar datang pada ajang internasional World of Coffee (WoC) Jakarta 2025, ketika para pebisnis dari Jerman, Korea Selatan, Riyadh, hingga Kolombia terpikat oleh proses pengeringannya yang unik.

Hasilnya, kopi Canaya langsung memikat pasar ekspor, Jerman memesan 10 ton, Jepang meminta 5 ton kopi siap saji yang dibanderol Rp450 ribu per kilogram.

Sayangnya, keterbatasan modal membuat Deden baru mampu memproduksi sekitar 20 ton kopi hasil pengeringan panas bumi setiap musim panen. Padahal, potensi lahan Kamojang mencapai produksi 1.500 ton ceri kopi per musim.

“Kami baru bisa menyerap 15 persen dari total panen. Padahal permintaan bisa sampai 40–50 ton,” ujarnya.

Dengan GCP, waktu pengeringan kopi yang biasanya memakan waktu sebulan dapat dipangkas menjadi 8–10 hari. Suhu yang stabil membuat cita rasa kopi lebih konsisten keunggulan yang sulit didapat lewat panas matahari.

“Kalau pembelian berulang, berarti kopi kita enak dan konsisten,” kata Deden mantap.

Inovasi ini bahkan telah memperoleh Sertifikat Paten Sederhana (2024) dari Kementerian Hukum dan HAM, menegaskan keunikan teknologi kopi geotermal dari Kamojang.

Community Development Officer PGE Kamojang, Reyhana Rashellasida, memastikan perusahaan siap memfasilitasi proses ekspor lanjutan. Menurutnya, keberhasilan menembus pasar Jerman dan Jepang menjadi bukti kuat bahwa kopi Canaya telah memenuhi standar internasional.

Dengan semakin maraknya bisnis kopi di Indonesia, pasar domestik pun terbuka lebar bagi inovasi kopi geothermal ini.

Deden percaya, Canaya bukan sekadar produk kopi, tetapi masa depan baru bagi petani Kamojang masa depan yang lebih ramah lingkungan, bernilai tinggi, dan membanggakan.

Dari lereng gunung hingga rak pasar dunia, Canaya membuktikan bahwa inovasi lokal juga bisa mendunia. Secangkir kopi, satu langkah besar.(*)

Sumber   : Ind.go.id                                                                                                                    Editor      : min.co.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *