Tari Gandrung: Pesona Syukur dan Cinta dari Tanah Osing, Banyuwangi

BANYUWANGI | Di ujung timur Pulau Jawa, tepatnya di Banyuwangi, lahir sebuah tarian yang tidak hanya menampilkan keindahan gerak, tetapi juga menyimpan napas sejarah dan spiritualitas masyarakatnya. Tarian itu bernama Tari Gandrung — simbol cinta, syukur, dan kebanggaan masyarakat Osing.

Awalnya, Tari Gandrung tumbuh dari tradisi masyarakat agraris Banyuwangi sebagai ungkapan rasa syukur atas panen yang melimpah. Namun, seiring waktu, tarian ini menjelma menjadi ikon budaya dan identitas daerah, hingga Banyuwangi pun dikenal luas sebagai “Kota Gandrung.”

Dalam setiap pentasnya, Tari Gandrung memadukan gerak lembut dan energik yang dibawakan oleh dua sosok penting, Penari perempuan yang disebut Gandrung, dan, Penari laki-laki yang dikenal sebagai Paju atau Pemaju.

Keduanya tampil dalam busana megah: baju beludru hitam berhias emas dan manik-manik, serta mahkota omprok dari kulit kerbau yang menjadi ciri khas tak tergantikan. Setiap gerak dan busana dalam tarian ini mencerminkan kemewahan budaya dan kehormatan tradisi.

Alunan musik tradisional dari gong, biola, kluncing, kendhang, dan kethuk mengiringi setiap langkah penari, menciptakan suasana magis dan romantis yang menyihir penonton.

Tari Gandrung terbagi menjadi tiga bagian utama yang penuh filosofi, Jejer – pembuka yang anggun dan memperkenalkan sang penari kepada penonton, Maju – interaksi hangat antara Gandrung dan Paju, menggambarkan keceriaan dan harmoni sosial, Seblang Subuh – penutup penuh khidmat yang melambangkan doa dan rasa syukur kepada Tuhan.

Menariknya, beberapa gerakan Tari Gandrung disebut memiliki kemiripan dengan tari balet klasik, seperti gerakan berputar, membungkuk, dan meregang  perpaduan antara keluwesan timur dan keanggunan barat.

Kini, Tari Gandrung bukan sekadar hiburan rakyat. Ia menjadi jejak sejarah dan simbol keanggunan budaya Banyuwangi.
Setiap kali tabuhan gong terdengar dan sang penari mengibaskan selendangnya, seolah terdengar bisikan masa lalu yang mengingatkan bahwa kebudayaan hidup karena dilestarikan, bukan hanya ditonton.

Tari Gandrung terus menari  bukan hanya di panggung, tapi juga di hati masyarakat Banyuwangi, yang dengan bangga menjaga warisan leluhur ini agar terus berdenyut di setiap generasi. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *