MOJOKERTO | Langkah cepat bisa menyelamatkan nyawa. Prinsip itulah yang menjadi ruh kegiatan Pelatihan Bantuan Hidup Dasar (BHD) atau Basic Life Support (BLS) yang digelar oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Timur, dalam rangka Peringatan Bulan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) 2025.
Memasuki hari kedua pelatihan pada Kamis (2/10/2025), fokus kegiatan bergeser ke kelompok relawan dan guru di wilayah Mojokerto Raya. Sebelumnya, pelatihan hari pertama menyasar kelompok perempuan dari Fatayat NU dan pengemudi ojek online (Ojol).
Bertempat di Gedung PCNU Kabupaten Mojokerto, kegiatan ini menjadi ajang pembekalan bagi 400 peserta dari empat kelompok masyarakat berbeda, agar mampu memberikan pertolongan pertama secara cepat dan tepat di situasi darurat sehari-hari.
“Situasi darurat bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Karena itu, kemampuan dasar menolong sesama menjadi hal vital yang harus dimiliki setiap orang,” ujar Plt. Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Provinsi Jatim, Dadang Iqwandy.
Ia menjelaskan, pelatihan BHD ini dibagi ke dalam empat sesi, masing-masing diikuti oleh 100 peserta. Hari pertama diikuti oleh 100 perempuan Fatayat NU dan 100 pengemudi Ojol, sedangkan hari kedua diikuti oleh 100 relawan dan 100 guru.
Materi utama pelatihan mengajarkan prinsip penanganan kegawatdaruratan yang dikenal dengan konsep 3A + STMJ.
3A mencakup, Aman Diri Penolong (menggunakan alat pelindung diri), Aman Lingkungan (menghindari risiko seperti listrik atau kebakaran), dan Aman Korban (memastikan posisi korban aman dan stabil).
Sementara STMJ adalah tahapan aksi cepat, S – Sadar atau tidak, T – Teriak minta tolong atau hubungi layanan darurat (112/119), M – Memeriksa napas, dan J – Jaw Thrust segera jika korban masih bernapas.
Melalui metode ini, peserta diajarkan bagaimana detik pertama dapat menentukan hidup dan mati seseorang. Kesalahan kecil bisa fatal, tetapi langkah cepat dan tepat bisa menyelamatkan nyawa sebelum tenaga medis tiba di lokasi.
“Pelatihan ini memang ditujukan untuk masyarakat awam. Karena kasus kegawatdaruratan sering kali terjadi di sekitar kita, dan orang pertama di lokasi biasanya bukan tenaga medis,” jelas Dadang.
Keterlibatan guru dan relawan di hari kedua pelatihan menjadi langkah strategis BPBD Jatim dalam memperkuat mata rantai kesiapsiagaan komunitas. Guru dianggap berperan penting dalam edukasi kesiapsiagaan sejak dini di sekolah, sedangkan relawan menjadi ujung tombak penanganan di lapangan.
Dengan pembekalan ini, BPBD Jatim berharap masyarakat Mojokerto Raya tidak hanya tangguh menghadapi bencana, tetapi juga siaga menghadapi kegawatdaruratan sehari-hari, seperti kecelakaan, serangan jantung, atau kondisi henti napas mendadak.
“Kesiapsiagaan tidak hanya soal bencana besar, tapi juga tentang kesiapan menolong sesama di sekitar kita. Dengan pelatihan ini, semoga semakin banyak masyarakat yang mampu menjadi penyelamat pertama,” pungkas Dadang.
Pelatihan BHD oleh BPBD Jatim menjadi contoh nyata bagaimana pendidikan kemanusiaan bisa menjadi benteng pertama menghadapi risiko bencana.
Dari ruang kelas hingga jalan raya, dari guru hingga relawan semua diajak untuk berani menolong, bijak bertindak, dan sigap menyelamatkan. (*)