Bojonegoro | Siapa sangka, di balik rindangnya hutan jati tua Bojonegoro, hidup bunga mungil yang kini jadi kebanggaan baru daerah ini: anggrek Dendrobium capra. Flora endemik langka ini bukan hanya mempercantik wajah hutan, tetapi juga menyimpan identitas ekologis yang menjadikan Bojonegoro unik di mata dunia.
Penelitian serius dilakukan oleh Laily Agustina, Dosen Ilmu Lingkungan Universitas Bojonegoro, yang menemukan fakta mengejutkan. Anggrek dengan kelopak hijau kekuningan berpadu ungu di bibir ini ternyata hanya bisa ditemukan di hutan Bojonegoro—menjadikan daerah ini satu-satunya habitat alami Dendrobium capra.
“Bojonegoro sekarang jadi satu-satunya tempat tumbuhnya Dendrobium capra. Ada rasa bangga, tapi sekaligus beban, karena jumlahnya semakin menurun,” ungkap Laily, Selasa (9/9/2025).
Bagi Laily, Dendrobium capra bukan sekadar objek penelitian. Ia mengibaratkan anggrek ini seperti perempuan Bojonegoro: cantik, sederhana, tak mencolok, namun tangguh bertahan di tanah kering. Sayangnya, di balik ketangguhan itu, anggrek ini rentan punah.
Spesies ini hanya mekar sekali setahun di bulan Februari, dengan reproduksi yang lambat. Habitatnya pun sangat spesifik: menempel di batang jati tua berusia di atas 50 tahun. Ironisnya, pohon jati pada usia itu justru kerap ditebang karena dianggap siap panen, sehingga rumah alami anggrek ini semakin berkurang.
Laily menilai, keberadaan Dendrobium capra harus dijadikan simbol kebanggaan Bojonegoro, sejajar dengan migas dan jati. “Kalau kita bisa menjaga flora ini, Bojonegoro tidak hanya dikenal sebagai daerah migas atau kayu jati. Kita juga rumah bagi flora langka dunia,” ujarnya.
Ia mengajak masyarakat mengagumi anggrek ini dari jauh, bukan memilikinya. Menurutnya, Dendrobium capra bisa diabadikan dalam motif batik, lukisan, atau karya seni, tanpa harus mencabutnya dari habitat asli.
Laily menekankan perlunya langkah konkret, mulai dari menetapkan kawasan lindung khusus, mengangkat Dendrobium capra sebagai flora kebanggaan Bojonegoro, hingga menjalankan program reintroduksi untuk memperluas habitatnya.
“Sosialisasi lintas generasi juga penting, agar anak-anak Bojonegoro tahu dan bangga bahwa daerahnya punya flora langka yang tidak dimiliki daerah lain,” tambahnya.
Batangnya tegap setinggi 40 cm, daunnya hijau kusam berbentuk bundar telur memanjang, sementara bunganya mungil berdiameter 2,5–3 cm. Keindahannya tak mencolok, justru seperti menyimpan rahasia di balik kerindangan hutan jati tua.
Kini, Bojonegoro menghadapi pilihan: membiarkan keindahan itu hilang, atau menjaganya sebagai identitas ekologis yang bisa mengangkat nama daerah hingga ke tingkat global.
“Dendrobium capra adalah wajah lain Bojonegoro. Kalau hilang, hilanglah juga salah satu kebanggaan kita,” pungkas Laily. (sodikin)