Lumajang | Malam jatuh di lereng Gunung Semeru, hawa dingin menusuk tulang, kabut tipis menyelimuti Desa Senduro. Namun suasana itu berubah hangat ketika denting gamelan bertalu dari panggung terbuka. Dari balik kabut, para penari muncul satu per satu, menghadirkan kisah cinta, pengorbanan, dan keberanian dalam sendratari Ramayana.
Bukan pertunjukan profesional dengan tata cahaya mewah, melainkan panggung sederhana yang dibangun secara swadaya. Warga RW 01 berubah menjadi seniman, menyulap ruang desa menjadi jagat penuh pesona. Festival Gunung Semeru 2025 malam itu membuktikan bahwa budaya tetap hidup ketika rakyat sendiri turun tangan menjaganya.
Sebanyak 70 penari lintas generasi mulai anak sekolah dasar hingga orang dewasa—menampilkan delapan adegan utama dalam Ramayana. Di balik setiap gerakan, tersimpan kisah gotong royong: warga berlatih bersama tiap malam, menyiapkan kostum, hingga merancang panggung dengan peralatan seadanya.
“Festival ini bukan hanya panggung seni, tapi panggung persatuan. Kami ingin generasi muda tumbuh dengan rasa cinta pada budaya leluhurnya,” ujar Farid Rahman, Kepala Desa sekaligus Ketua Panitia Festival, Minggu (31/8/2025).
Bagi masyarakat Senduro, seni bukan sekadar hiburan. Festival ini menjadi ruang pendidikan budaya. Anak-anak tak hanya belajar menari, tetapi juga memahami nilai-nilai Ramayana: keberanian Rama, kesetiaan Sinta, dan pengabdian Hanoman.
“Awalnya saya ragu bisa tampil percaya diri. Tapi ketika melihat penonton penuh, semangat saya semakin membara. Saya merasa menjadi bagian dari kisah besar ini,” ungkap Diah Ayu, siswi SMP kelas VIII yang berperan sebagai Dewi Sinta.
Festival Gunung Semeru 2025 melibatkan 29 kelompok seni dari Kecamatan Senduro, termasuk 1.000 penari godril yang tampil dalam puncak acara. Ribuan penonton memadati lokasi, sebagian datang dari luar Lumajang, menjadikan Senduro pusat perhatian Jawa Timur malam itu.
“Ini wujud syukur kami atas tanah yang kami pijak, sekaligus penghormatan pada budaya yang diwariskan leluhur,” tutur Farid dengan mata berbinar.
Tak hanya memperkuat identitas budaya, festival ini juga membawa dampak ekonomi. Pedagang kecil, penyewa kostum, hingga UMKM lokal ikut merasakan berkah dari ramainya pengunjung. Bagi Lumajang, festival ini membuka peluang besar untuk memposisikan diri sebagai destinasi wisata budaya.
Seorang penonton, Supriyanto (54), mengaku terharu. “Saya lahir di sini. Baru kali ini melihat Ramayana dipentaskan oleh warga sendiri. Ini bukan sekadar tontonan, tapi bukti bahwa kita masih punya jati diri. Semoga kegiatan ini berlanjut agar anak cucu tidak kehilangan akar budayanya,” katanya haru.
Puncak pertunjukan menghadirkan adegan Sinta Obong—simbol kesetiaan dan pengorbanan. Api menyala terang, gamelan berpadu kencang, sementara seluruh penari memberikan salam penghormatan.
Sabtu malam (30/8/2025), Semeru menjadi saksi bukan hanya keindahan Ramayana, tetapi juga semangat warga menjaga budaya. Dari panggung desa yang sederhana, lahirlah pesan besar: seni adalah perekat bangsa, identitas, dan modal untuk membangun masa depan.
Festival Gunung Semeru 2025 membuktikan, ketika rakyat menari dari hati, budaya bukan hanya bertahan, tetapi juga menjadi cahaya yang memberi terang bagi Indonesia. (*)
