Jamu Pascapersalinan: Tradisi Turun-Temurun yang Perlu Bijak Dikonsumsi

Jakarta | Bagi banyak ibu di Indonesia, masa nifas setelah melahirkan bukan hanya soal pemulihan fisik, tetapi juga menjaga keseimbangan tubuh dan jiwa. Salah satu tradisi yang masih kuat dijalankan adalah minum jamu pascamelahirkan. Ramuan alami seperti kunyit asam, beras kencur, temulawak, jahe, hingga galian sirih dipercaya mampu membantu tubuh lebih cepat pulih, menambah energi, bahkan mendukung produksi ASI.

Tak heran jika hingga kini jamu tetap menjadi pilihan populer, meski era medis modern terus berkembang. Jamu dipandang sebagai warisan kearifan lokal yang menyatu dengan budaya perawatan ibu selepas persalinan.

Namun, di balik manfaatnya, jamu tetap menyimpan catatan penting: tidak semua ibu bisa sembarangan mengonsumsinya. Kandungan rempah yang bersifat panas, misalnya, bisa memicu kontraksi rahim berlebihan atau memperparah perdarahan pasca persalinan. Begitu pula bagi ibu dengan riwayat alergi tertentu atau yang sedang mengonsumsi obat medis, konsumsi jamu sebaiknya ditunda atau dihindari.

Di sinilah letak kebijaksanaan. Bahan alami bukan berarti tanpa risiko. Konsultasi dengan dokter atau bidan tetap menjadi langkah utama sebelum memutuskan mengonsumsi jamu. Tujuannya jelas: menjaga keselamatan ibu sekaligus bayi yang masih bergantung pada ASI.

Tradisi minum jamu pascamelahirkan memang patut diapresiasi sebagai bagian dari kekayaan budaya Nusantara. Namun, di era modern, tradisi itu perlu dipadukan dengan pendekatan medis agar manfaatnya optimal dan risikonya dapat dihindari.

Akhirnya, kunci utamanya adalah keseimbangan: menghormati warisan nenek moyang, namun tetap berpijak pada prinsip keamanan kesehatan. Dengan begitu, ibu bisa tetap sehat, bertenaga, dan siap menjalani peran barunya bersama buah hati tercinta. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *