Min.co.id ~ Jakarta ~ Dalam kepulan uap yang harum, serabi hadir tak sekadar sebagai penganan, melainkan sepotong kisah dari masa silam yang terus lestari. Kata “serabi” yang berakar dari bahasa Sanskerta, bermakna wangi dan harum seolah mengisyaratkan kelezatan yang menggoda sejak pandangan pertama.
Jejak kuliner ini diyakini telah mengharumkan dapur-dapur Nusantara sejak era Kerajaan Mataram. Dalam Serat Centhini, karya sastra agung dari Keraton Surakarta yang disusun pada 1814–1823, serabi disebutkan sebagai kudapan yang akrab dengan berbagai upacara adat, dari prosesi ijab, ruwahan, hingga menjadi hidangan istimewa saat pertunjukan wayang kulit menggema di malam hari. Tak hanya itu, serabi juga menjadi bagian dari sajen dalam ritual ruwatan melengkapi harmoni budaya dan spiritualitas Jawa.
Pakar kuliner Bondan Winarno menduga, pesona serabi tak lepas dari pengaruh budaya India dan Belanda. Namun, cita rasanya yang lembut dan manis dengan aroma khas santan, menjadikan serabi sepenuhnya milik lidah Indonesia.
Setiap daerah di Nusantara punya kisahnya sendiri tentang serabi. Di Jawa Barat, kudapan ini dikenal sebagai “surabi” atau “sorabi,” dengan kekayaan rasa yang beragam, dari gurihnya oncom hingga manisnya kinca. Sementara itu, Serabi Solo memikat hati dengan teksturnya yang lembut dan pinggiran renyah, sedangkan Serabi Bandung kerap memanjakan lidah dengan beragam topping modern.
Serabi bukan sekadar makanan. Ia adalah warisan rasa yang merentang melintasi zaman, menghubungkan lidah kita hari ini dengan tradisi yang harum di masa lalu. Satu gigitan serabi adalah perjalanan singkat menuju masa silam, di mana setiap lapisan adonan menyimpan cerita, dan setiap tetes kuah manisnya membawa kenangan tentang kehangatan budaya yang terus dijaga.(*)
Editor : Achmad