Min.co.id ~ Jakarta ~ Sebuah langkah revolusioner diambil oleh Kementerian Pertanian (Kementan) dan Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Mabes Polri untuk memperkuat sektor pertanian nasional.
Program ini melibatkan 2.285 mantan narapidana terorisme (napiter) dan 8.140 mantan anggota Jamaah Islamiyah (JI) dalam upaya mewujudkan swasembada pangan.
Dari Ideologi Kekerasan ke Kontribusi Pangan
Menteri Pertanian Andi Amran Suliman menegaskan pentingnya pembinaan bagi para mantan napiter sebagai bagian dari transformasi sosial.
“Kita akan bina mereka karena mereka adalah saudara-saudara kita. Melalui pendampingan yang dilakukan BPPSDMP, kami yakin mereka dapat menjadi tenaga produktif untuk memperkuat sektor pertanian,” ujar Mentan pada Jumat (3/1/2025).
Dengan membentuk brigade swasembada pangan, para mantan napiter didorong untuk mengambil peran aktif dalam pembangunan pertanian. Sektor ini dinilai strategis karena berpotensi memperkuat ekonomi bangsa sekaligus menciptakan lapangan kerja baru.
Zona Klaster dan Pendampingan Intensif
Kepala Densus 88 Anti Teror Mabes Polri, Irjen Pol Sentot Prasetyo, menjelaskan bahwa pembinaan terhadap napiter dilakukan berdasarkan zona klaster:
- Merah: Masih memegang ideologi kekerasan.
- Kuning: Mulai terbuka terhadap rehabilitasi.
- Hijau: Sudah kembali menjadi masyarakat Pancasila.
“Dari kegiatan pelatihan ini, hasil nyata sudah terlihat dengan panen di Lampung, Banten, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Program ini didukung oleh dinas pertanian di berbagai provinsi,” kata Kadensus 88.
Pertanian sebagai Pilar Ekonomi Bangsa
Pertanian menjadi pusat perhatian dalam kerja sama ini, bukan hanya untuk mendorong ketahanan pangan, tetapi juga sebagai alat pemberdayaan sosial.
“Kita berharap langkah ini mendapat dukungan penuh dari seluruh jajaran. Melalui program ini, para napiter dapat memberikan kontribusi nyata untuk masyarakat dan bangsa,” tegas Irjen Pol Sentot.
Kolaborasi untuk Masa Depan yang Lebih Baik
Dengan menggandeng mantan napiter, Kementan dan Densus 88 tidak hanya fokus pada hasil panen, tetapi juga perubahan mentalitas dan pemberdayaan. Langkah ini menunjukkan bahwa setiap individu memiliki peluang untuk berkontribusi pada bangsa, terlepas dari masa lalunya.
Program ini menjadi bukti bahwa keberhasilan swasembada pangan membutuhkan sinergi dari berbagai elemen masyarakat, termasuk mereka yang pernah berada di pinggiran sistem sosial.(*)
Editor : Achmad