Min.co.id ~ Jakarta ~ Keputusan majelis hakim yang menjatuhkan vonis 6,5 tahun penjara kepada Harvey Muis, terdakwa kasus korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp300 triliun, menuai perdebatan sengit.
Putusan yang dianggap terlalu ringan ini mendorong banyak pihak untuk mempertanyakan integritas penegakan hukum di Indonesia.
Meski demikian, para ahli hukum mengingatkan bahwa proses hukum belum selesai. Guru Besar Hukum UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon, Prof. Dr. H. Sugianto, SH., MH., menegaskan bahwa putusan tersebut belum inkracht dan masih terbuka peluang bagi Kejaksaan Agung untuk mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi.
“Langkah banding adalah bentuk perjuangan untuk memastikan hukuman sepadan dengan tingkat kejahatan,” tegasnya.
Di sisi lain, publik juga diminta mendesak Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA) dan Komisi Yudisial untuk memeriksa etik para hakim yang memutus perkara ini.
Transparansi dalam proses peradilan menjadi tuntutan utama untuk menjawab pertanyaan publik tentang kredibilitas sistem hukum.
Pernyataan Presiden Prabowo Subianto dalam program ASTA CITA poin 7 kembali digaungkan. Beliau menegaskan pentingnya reformasi politik, hukum, dan birokrasi, serta pemberantasan korupsi dan narkoba.
“Penegakan hukum harus tegas dan tanpa pandang bulu. Jangan ada yang bermain-main dengan hukum,” ujar Presiden Prabowo dalam pidatonya yang tegas.
Pasal 10 KUHP tentang jenis hukuman pidana, mulai dari pidana mati hingga denda, seharusnya menjadi acuan dalam memastikan bahwa keadilan ditegakkan.
Vonis ringan dalam kasus yang merugikan negara sebesar ini dianggap dapat mencederai rasa keadilan masyarakat.
Kasus Harvey Muis bukan sekadar ujian hukum, melainkan juga ujian integritas bangsa. Publik kini menanti langkah nyata dari Kejaksaan Agung, Bawas MA, dan Komisi Yudisial untuk menjawab keraguan dan harapan masyarakat. Dalam penegakan hukum, keadilan tidak hanya harus ditegakkan, tetapi juga harus terlihat ditegakkan.(*)
Editor : Achmad