Min.co.id ~ Jakarta ~ Masalah stunting masih menjadi tantangan besar bagi Indonesia, dengan prevalensi tertinggi kedua di ASEAN setelah Timor Leste.
Kondisi ini tidak hanya berdampak pada tumbuh kembang anak, tetapi juga membawa ancaman kesehatan jangka panjang. Dalam diskusi BRIN Insight Every Friday (BRIEF) edisi ke-146 bertema “Mengapa Peran Ibu Krusial? Mengatasi Hambatan Sosial Budaya untuk Cegah Stunting”, Yuly Astuti, Peneliti BRIN, menekankan pentingnya peran ibu dalam mencegah stunting.
“Ibu adalah aktor utama dalam mencegah stunting. Namun, tantangan sosial budaya seperti pernikahan dini dan tradisi pantangan makanan sering kali menghambat upaya ini,” jelas Yuly dalam acara yang digelar pada Jumat (20/12).
Tradisi Lokal: Tantangan dan Solusi
Di berbagai daerah, tradisi seperti merarik di Nusa Tenggara Barat menjadi hambatan signifikan. Praktik ini mendorong pernikahan anak segera setelah menstruasi, meningkatkan risiko bayi lahir dengan berat badan rendah—faktor utama stunting.
“Ibu muda yang masih dalam masa pertumbuhan harus berbagi nutrisi dengan janinnya, sehingga kebutuhan gizi sering kali tidak terpenuhi,” ungkap Yuly.
Namun, Yuly juga menyoroti adanya praktik lokal yang dapat dioptimalkan. Misalnya, pemanfaatan teknologi komunikasi seperti grup WhatsApp PKK untuk menyebarkan informasi terkait imunisasi dan pola makan sehat.
Pendidikan Ibu: Pilar Penentu Masa Depan Anak
Menurut Yuly, pendidikan ibu menjadi salah satu pilar utama dalam mencegah stunting. “Ibu yang teredukasi cenderung lebih memahami pentingnya gizi, imunisasi, dan pola asuh yang tepat,” ujarnya. Namun, pendekatan berbasis komunitas, seperti pelatihan di posyandu, juga efektif untuk meningkatkan pengetahuan ibu dengan tingkat pendidikan rendah.
Kolaborasi Lintas Sektor untuk Perubahan
BRIN mencatat bahwa sinergi lintas sektor menjadi kunci keberhasilan penurunan stunting. Di daerah seperti Yogyakarta dan Malang, inovasi seperti edukasi berbasis komunitas, fasilitas sanitasi memadai, dan keterlibatan tokoh agama telah menunjukkan hasil yang positif.
“Pendekatan berbasis budaya lokal harus dipadukan dengan kebijakan nasional untuk menciptakan perubahan yang signifikan,” kata Yuly.
Optimisme Masa Depan
Meski penurunan stunting di Indonesia masih lambat, Yuly optimistis bahwa melalui kolaborasi lintas sektor, optimalisasi teknologi, dan pemberdayaan masyarakat, prevalensi stunting dapat ditekan secara signifikan.
“Dengan kerja sama semua pihak, kita dapat menciptakan generasi masa depan yang lebih sehat, cerdas, dan berdaya saing,” tutupnya.
Langkah besar ini menjadi harapan bagi Indonesia untuk keluar dari bayang-bayang stunting dan meraih masa depan yang lebih cerah.(*)
Editor : Achmad