Min.co.id ~ Jakarta ~ Topeng monyet, sebuah kesenian tradisional yang telah mewarnai budaya Indonesia selama berabad-abad, kembali mencuri perhatian publik. Dalam pertunjukannya, seekor monyet jenis Macaca fascicularis dilatih oleh pawang untuk melakukan berbagai aksi yang meniru tingkah laku manusia mulai dari berjalan dengan dua kaki, mengenakan pakaian, hingga melakukan trik lucu yang mengundang tawa penonton.
Kesenian ini, yang berkembang pesat di Bali dan beberapa daerah Jawa, memadukan antara hiburan dan keterampilan. Monyet yang dilatih akan mengenakan kostum atau topeng khas yang semakin menambah daya tarik bagi masyarakat yang menonton pertunjukan tersebut.
Namun, di balik gelak tawa dan keheranan penonton, kesenian ini juga menimbulkan berbagai polemik. Salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah permasalahan kesejahteraan hewan. Aktivis hak-hak hewan dan sejumlah organisasi berpendapat bahwa proses pelatihan monyet dalam topeng monyet sering kali melibatkan perlakuan yang tidak manusiawi dan dapat menyebabkan stres pada hewan tersebut.
Meskipun demikian, banyak kalangan yang mempertahankan kesenian ini sebagai bagian dari warisan budaya Indonesia yang patut dilestarikan. Mereka percaya bahwa topeng monyet memiliki nilai sejarah yang mendalam dan menjadi penghubung tradisi antar generasi.
Namun, dengan semakin berkembangnya kesadaran akan perlindungan hewan dan keberlanjutan budaya, pertunjukan topeng monyet kini menghadapi tantangan besar. Beberapa daerah bahkan telah mulai melarang praktik ini, mengingat dampak negatif terhadap kesejahteraan hewan yang terlibat.
Topeng monyet menjadi simbol dari dua sisi dunia: satu sisi yang menampilkan kemegahan seni tradisional Indonesia, dan sisi lainnya yang menuntut perhatian lebih terhadap kesejahteraan makhluk hidup yang turut berperan dalam kesenian tersebut. Seiring waktu, pertanyaan besar pun muncul: bagaimana cara kita menjaga keseimbangan antara pelestarian budaya dan perlindungan hak-hak hewan? (*)
Editor : Achmad