Batik Khas Talaga Sudah Ada Sejak Abad ke 15

MAJALENGKA, – Batik dan tenun khas talaga ternyata sudah ada sejak abad ke 15 di Kerajaan Talagamanggung. Hal ini terkuak setelah salah seorang pranata budaya Talagamanggung yang berada di Kabupaten Majalengka membuat catatan dengan judul “BATIK TALAGA YANG TERLUPAKAN”.

Kepala Musium Talagamanggung Asep Asdha Singhawinata dalam catatannya menjelaskan bahwa ini merujuk berdasarkan catatan sejarawan Atja dan Saleh yang mengatakan bahwa pakaian pada masa Pajajaran dibuat dari kulit kayu dan menyemak kulit sesuai dengan simbol dewanya. Kemudian ada juga kain dari kapas yang diolah menjadi kain batik oleh “PAGEUYEUK Batik”.

Dalam Naskah Carita Parahiyangan abad ke 16 tertulis kalimat.

{eta di leleg sampingna ki simpit // eta bawa sinjang saparagi //} yang artinya : maka digulunglah kain itu oleh sumpitan//bawalah kain itu selengkapnya.

Data ini menunjukan bahwa di abad ke-16, orang sunda sedah mengenal busana “kain” penutup tubuh bagian bawah (sinjang dan samping).

Biasanya sinjang dan samping tidak polos, tetapi terdapat batik yang semakin berkembang menjadi motif motif yang beraneka ragam.

Dikatakan oleh Irma Rusanti S.Pd, M.Ds, dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Perkembangan Kabaya Sunda” kain batik telah lama ada di tatar sunda, setidakanya sejak awal abad ke 15 Masehi.

Berdasarkan naskah Siksa Kanda Ng Karesian di tuliskan kalimat :
{sarwa ilir ning tulis// ma // Pupujagan, hihinggulan, kekembangan, alas alasan, urang urangan, mementaan, sisirangan, taruk hata, kembang tarate}
berbagai corak batik tulis// diantaranya// Pupujagan, hihinggulan, kekembangan, alas alasan, urang urangan, mementaan, sisirangan, taruk hata, kembang tarate.

Selain batik, pada abad ke 15, masyarakat Sunda juga sudah mengenal motif anyaman tenun yang salah satu diantaranya bernama kain tenun : Kampuh Jingga, Kampuh Jayanti, hujan iris, boeh alus, hujan panganten dan lain lain (siksa kanda Ng Karesian 1518)

Mengutip hasil wawancara dengan sejarawan yang mendalami batik di tatar sunda yang bernama
Lalan Wiranata (th 2006) beliau mengatakan bahwa : “motif motif kain tersebut diatas sekarang tidak bisa diketemukan lagi karena pada era kolonisasi Mataram terhadap wilayah Sunda, semua peninggalan peninggalan peradaban Sunda di bumi hanguskan, termasuk batik dan kain tenun (kutipan buku “Sejarah Perkembangan Kabaya Sunda”)

Bahkan menurut Asep, Sejarawan asal prancis bernama Viviane S. dalam tesisnya yang di terbitkan oleh : ECOLE FRANCAISE D’EXTREME ORIENT Tahun 1983, mengatakan bahwa diketemukan tiga buah kain ,

  1. Sinjang Batik SHINDE (cinde) WARAGAN di Talaga – Majalengka.
  2. Sinjang Batik SHINDE (cinde) RUKMI di Cherbon
  3. Kain Tenun motif Kampuh Jingga di Talaga – Majalengka.

Yang menurutnya bahwa jenis-jenis kain tersebut kerap dipakai oleh para petinggi kerajaan Talaga, Sumedang Pajajaran dan Kerajaan Kerajaan lainnya di Tatar Sunda sebagai symbol tahta tertinggi di kerajaan. Bahkan secara spesifik dalam catatannya ia mengatakan bahwa batik Cinde Warangan yang berada di Talaga pernah dipakai oleh petingi Kerajaan Pajajaran yang bergelar Prabu Silihwangi.

“Hal ini membantah anggapan yang menyatakan bahwa tradisi menulis batik di Talaga – Majalengka dan wilayah wilayah se-tatar sunda baru ada setelah terjadi kontak budaya dengan orang jawa secara intensif pada abad ke-17,” ungkap Asep. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *