Mengenal lebih Dalam Seni Tari Tayuban

Min.co.id-Tayuban, konon, awalnya dikenal di kalangan para menak/bangsawan, atau juga para aparat pemerintahan. Bahkan pada masa kerajaan, konon ada konsep bahwa tayuban hanya dilakukan antara raja dengan putra mahkota.

Dalam gerak tari, raja memberikan konsep kepemimpinan ‘asta brata’ atau delapan konsep kepemimpinan berdasarkan simbol alam, bahwa pemimpin harus seperti tanah, air, laut, api, angin, bulan, bintang, dan matahari. Tari tayub kemudian dimaknai sebagai ‘mataya’ (tari) dan ‘guyub’ (rukun bersama).

Konon pula pada zaman raja Kediri, Jayabaya, dalam kitab ‘Kakawin Baratayudha’ tertulis kata ‘sapandhawanayub’, yang artinya para pendawa menari-nari (tayuban). Kemudian, juga konon, pada masa Islam para Wali melakukan revitalisasi sebagai suatu khazanah Islam.

Kata ‘tayub’ diartikan sebagai ‘thoyibah’ atau mencari atau melakukan sesuatu yang baik dan bagus. Dikaitkan pula dengan ‘sampur’ (selendang), yaitu ‘sampurnakaken uripira’ (sempurnakan hidupmu). Esensi falsafah tersebut entah berkelanjutan, entah tidak. Sebab estetika seni lebih mengemuka.

Di Indramayu pada akhir masa prakemerdekaan hingga dekade 1980-an tayuban masih populer. Esensinya adalah tari pergaulan dengan estetika berwujud gerak tari yang bebas, alunan gamelan, dan tembang-tembang klasik yang riang.

Meski ada kebebasan dalam berekspresi, di situ tetap ada harmonisasi antara wiraga, wirama, dan wirasa, atau gerak tubuh dalam menari dengan birama dan irama gamelan yang disertai perasaan dan penghayatan.

Para penari adalah beberapa perempuan dengan lelaki. Kesan yang tercipta pada tayuban adalah estetika yang harmonis antara seni tari, seni musik, dan kegembiraan dalam pergaulan.

Di Indramayu, konon, dulu dari bupati hingga wedana, camat, kuwu, dan aparat lainnya harus mampu ‘nayub’. Setidak-tidaknya menghormati teman atau atasan yang ‘nayub’. Ternyata di seantero Pulau Jawa juga demikian.

Sampai-sampai Nugroho Notosusanto, sastrawan yang berlatar tentara dan pernah menjadi Mendikbud tahun 1980-an, pernah menulis cerpen “Tayuban” (dengan setting kehidupan para bangsawan dan pangréh praja di jaman kolonialisme Belanda). Cerpen yang penuh dengan ‘korban perasaan’ seorang istri aparat pemerintah.

Mulai dekade 1970-an di Indramayu seni tayuban ternyata telah menjadi seni kerakyatan yang egaliter. Siapapun boleh menari, dan biasanya sudah menyiapkan ‘duit sawér’. Tetapi tidak semua orang berani untuk maju ke pentas. Bukan tidak punya uang, tetapi lebih disebabkan tidak mampu menari dengan baik.

Panggung tayuban memang estetis. Termasuk lelaki yang masuk menari pun sudah siap mental dan kemampuan dalam menari. Jika tidak, ia tak akan mampu mengikuti pola wirama, wiraga, dan wirasa.

Popularitas tayuban diimbangi pula oleh banyak kemampuan para pesinden dan panjaknya dalam membuat ilustrasi musik dan lagu klasik daerah. Produksi kaset tayuban juga laris-manis. Tetapi kini, sudah sulit menemukan pentas tayuban lagi. Konon, karena masuknya unsur-unsur minuman keras, atau juga masalah lainnya. (supali kasim)***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *