“Pembangunan pagar dialokasikan anggaran pada tahun 2015, tapi proyeknya tidak dilaksanakan atau fiktif. Kemudian tahun berikutnya 2016, kembali kembali dialokasikan anggaran yang sama baru dilaksanakan pembangunan fisiknya. Untuk pembangunan kantor Desa dan pembelian meubelair modusnya sama yakni antara pertanggungjawaban dengan dana yang dikeluarkan ada selisih,” jelas Fathur.
Selain temuan proyek fiktif, dalam pelaksanaan pembangunan Kantor Desa, ada pembelian sejumlah bahan namun harganya tidak sama dengan kwitansi. Sementara untuk pembelian meubelair, tersangka melakukan dugaan korupsi dengan cara barang lama diperbaiki lagi (re kondisi), namun dipakai barang baru.
“Pasal yang kita kenakan Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 3 ayat 1 junto Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” terang Fathur.
Pihaknya masih menelusuri lebih lanjut terkait kasus ini karena tidak menutup kemungkinan ada tersangka lain karena masih dalam proses lebih lanjut. “Kasus ini masih berjalan, tidak menutup kemungkinan ada tersangka lainnya,” ucap Fathur.
Sementara kuasa hukum Nanang Harianto, Kholil Askohar mengatakan, Nanang mengakui perbuatan penyalahgunaan anggaran tersebut. Namun yang disalah gunakan hanya sekira Rp 94 juta, itu pun tidak digunakan sendiri.
“Hanya Rp 94 juta. Itu pun dilakukan tidak sendiri namun ada pihak lain yang terlibat yakni sekretaris desa,” Pungkasnya.
(merdeka | red)