KKP Intensifkan Sosialisasi Pencegahan Penyakit EMS May 15, 2019

Sosialisasi upaya pencegahan penyakit early mortality syndrome (EMS) yang disinyalir memiliki kemiripan dengan penyakit Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease (AHPND) semakin intensif dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Sepanjang bulan April hingga Mei 2019, KKP bersama stakeholder perikanan budidaya seperti Shrimp Club Indonesia (SCI), Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT), usaha pengolahan dan lainnya melakukan roadshow sosialisasi pencegahan penyakit ini di Aceh, Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Kalimantan Utara, dan Nusa Tenggara Barat.

Selain itu, KKP juga membentuk dan mengintensifkan peran tim taskforce (gugus tugas) pencegahan penyakit AHPND beranggotakan unsur pemerintah, pelaku usaha, akademisi, dan pakar.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, Kamis (16/5)  melalui keterangan persnya menjelasakan, bahwa sosialisasi tersebut merupakan bagian dari tindak lanjut hasil surveilan EMS/AHPND yang dilakukan oleh DJPB dan Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) tahun 2018 lalu, serta 12 poin kesepakatan bersama antara pelaku usaha dan pemerintah saat pertemuan tanggal 20 Februari 2019 di Surabaya tentang upaya pencegahan EMS/AHPND.

Sedangkan pemilihan lokasi sosialisasi sendiri menurut Slamet didasarkan pada pertimbangan bahwa daerah-daerah tersebut secara tradisional merupakan sentra penghasil udang utama di Indonesia.

“Perlu kita sosialisasikan 12 kesepakatan ini kepada suluruh pembudidaya dan stakeholder lainnya. Namun demikian, yang lebih penting lagi adalah bagaimana hasil dari sosialisasi ini kita implementasikan ke seluruh tambak maupun hatchery masing-masing. Kita harus sama-sama memiliki komitmen yang kuat mencegah penyakit ini. Masing-masing stakeholder harus tahu perannya sesuai dengan 12 butir kesepakatan tersebut,” ujar Slamet.

“KKP terus melakukan surveilance atau pengawasan terhadap cara budidaya ikan yang baik, penggunaan induk, dan memonitor residu. Oleh karena itu, sebagai tindak lanjut sosialisasi ini, DJPB akan menerjunkan pengawas pembudidaya ikan untuk memonitor kegiatan budidaya di masyarakat,” lanjutnya.

Sebagaimana diketahui, EMS/AHPND merupakan penyakit serius yang dapat menyebabkan berbagai kerugian fisik dan finansial pada industri budidaya udang yang telah terjadi di beberapa negara sehingga berpotensi mengancam produksi udang.

Penyakit ini ditimbulkan oleh adanya infeksi Vibrio parahaemolyticus (Vp AHPND) yang mampu memproduksi toksin. Pada umumnya, AHPND rentan menyerang udang windu (Penaeus monodon) dan udang vaname (Penaeus vannamei) dengan mortalitas mencapai 100% pada stadia postlarvae (PL) umur 30-35 hari dan udang usia < 40 hari setelah tebar di tambak.

Pertama kali ditemukan di Tiongkok pada tahun 2009 dengan sebutan Covert Mortality Disease.  Pada Tahun 2011, AHPND dilaporkan telah menyerang Vietnam dan Malaysia, disusul Thailand (2012), Mexico (2013), dan Philipina (2015).  Saat ini India juga dilaporkan diduga terserang AHPND, namun belum ada notifikasi dari pihak pemerintah India.

FAO mencatat, dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun produksi udang di Thailand mengalami penurunan produksi yang sangat drastis dari 609.552 ton pada tahun 2013 menjadi 273.000 ton di tahun 2016 akibat serangan AHPND.  Sedangkan dampak kerugian ekonomi yang dialami Vietnam selama kurun waktu 2013 – 2015 adalah sebesar USD16,23 juta atau rata-rata sebesar USD72 juta per tahun.

“Indonesia hingga saat ini masih terbebas dari penyakit EMS/AHPND. Namun jika melihat dari latar belakang munculnya penyakit ini, maka segala potensi risiko dalam industri budidaya udang nasional harus diantisipasi secara serius. Indonesia mewaspadai masuknya penyakit lintas batas (transboundary disease) yang dapat mengancam industri perudangan nasional dalam hal ini wabah AHPND dari negara terjangkit,” ujarnya.

“Ini tentu jadi fokus perhatian kita agar Indonesia tidak mengalami nasib yang sama. oleh karena itu, jangan sampai ada kejadian AHPND di Indonesia. Jika sudah ada tampak gejala saja, kita harus segera bertindak. Mencegah lebih baik daripada pengobatan,” lanjut Slamet tegas.

Pengalaman hancurnya usaha budidaya udang windu akhir tahun 90-an menurut Slamet harus menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia untuk mencegah kejadian serupa pada udang vanname. Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti di awal menjabat jelasnya, telah mengingatkan hal ini, karena dapat menyebabkan seluruh usaha hulu hilir yang terhubung dengan komoditas udang dapat gulung tikar. (jal)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *