Surabaya | Di tengah hiruk pikuk kota metropolitan, tersembunyi sebuah kampung yang menjadi simbol perubahan: Kampoeng Oase Ondomohen, bagian dari Kampung Berseri Astra (KBA) di jantung Surabaya.
Kampung ini bukan hanya sekadar tempat tinggal, melainkan juga laboratorium hidup pelestarian lingkungan dan pemberdayaan masyarakat. Baru-baru ini, kampung ini menjadi tempat belajar tak biasa bagi sekelompok mahasiswa dari Saint Louis College (SLC) Thailand dan Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS).
Mereka datang bukan hanya untuk mengamati, tetapi juga untuk meresapi praktik nyata pemberdayaan komunitas, termasuk menyulap limbah kain menjadi eco bag yang bisa digunakan sehari-hari. Kunjungan ini merupakan bagian dari kerja sama tahunan antara UKWMS dan SLC Thailand dalam rangka pertukaran budaya dan akademik.
“Di sini kami belajar bahwa menjaga lingkungan bisa dimulai dari hal yang sangat sederhana — potongan kain yang biasanya dibuang, ternyata bisa menjadi tas yang berguna dan bermakna,” ujar Thirawarin Bunyapipat, dosen pendamping dari SLC Thailand.
Salah satu sesi yang paling berkesan adalah pelatihan menjahit eco bag yang dipandu oleh Novita Rahayu Purwaningsih, pelaku UMKM sekaligus pemilik brand ByVira. Dalam sesi ini, para mahasiswa dikenalkan pada seni daur ulang, menjahit, dan menciptakan produk kreatif dari kain sisa seperti baju lama atau celana jeans bekas.
“Hari ini saya ajarkan mereka membuat eco bag dari kain perca. Bukan hanya sebagai produk kreatif, tetapi sebagai wujud kesadaran lingkungan. Mereka antusias sekali, langsung mencoba begitu saya beri contoh,” jelas Novita.
Mahasiswa asal Thailand, seperti Palmy, Cicha, dan Steven, mengaku ini adalah pengalaman pertama mereka menjahit. Hasil jahitan mereka memang belum sempurna, tetapi penuh semangat dan kebanggaan.
“Seru sekali. Saya baru tahu kita bisa bikin tas dari bahan yang sederhana,” kata Palmy sambil tersenyum melihat tas hasil jahitannya.
“Kain sisa bisa jadi tas, bisa dipakai setiap hari. Saya suka idenya, karena sederhana tapi punya makna,” timpal Cicha.
Kunjungan ini bukan sekadar kegiatan akademik, tapi juga jendela pandang baru tentang budaya Indonesia, khususnya bagaimana komunitas kampung bisa hidup berdampingan dengan alam dan menjadikan limbah sebagai sumber daya.
Para tamu juga diajak berkeliling kampung untuk melihat langsung program pelestarian lingkungan lainnya seperti pengelolaan sampah organik, vertical garden, dan edukasi lingkungan kepada anak-anak. Mereka menyaksikan sendiri bagaimana kampung ini hidup dalam semangat gotong royong yang ramah lingkungan.
Uniknya, menurut para mahasiswa, tidak ada kampung seperti ini di Thailand. Ini membuat kunjungan ke Kampoeng Oase Ondomohen menjadi pengalaman tak terlupakan dan penuh inspirasi.
“Kami ingin membawa pengalaman ini ke Thailand. Kami belum punya kampung seperti ini, dan kami sangat terinspirasi untuk memulainya,” tutur Steven.
Kunjungan ini menjadi bukti bahwa perubahan bisa dimulai dari kampung. Dari eco bag buatan tangan hingga kesadaran kolektif akan pentingnya lingkungan, semua dimulai dari satu titik kecil yang terus menjalar.
Surabaya, lewat KBA Kampoeng Oase Ondomohen, menunjukkan bahwa kampung bisa menjadi guru, limbah bisa menjadi karya, dan pertemuan antarbangsa bisa melahirkan harapan baru untuk dunia yang lebih hijau. (*)
Komentar