Min.co.id ~ Jakarta ~Sebelum layar ponsel jadi teman setia di tiap sudut ruang, anak-anak Betawi punya satu hiburan seru di halaman rumah: Dampu. Sebuah permainan tradisional yang sederhana tapi sarat makna—dan kini nyaris tenggelam dalam hiruk-pikuk dunia digital.
Dampu, atau yang juga dikenal di beberapa daerah lain dengan nama serupa, dulunya dimainkan di atas tanah dengan diagram bergambar lima blok gunung, rumah, tangga, dan lainnya yang digores dengan ujung batu tajam. Di atas garis-garis sederhana itu, petualangan dimulai.
Tak butuh alat mahal. Cukup pecahan genting atau batu bata, pemain melempar benda itu ke salah satu kotak lalu melompat dengan satu kaki, berusaha tidak menyentuh garis. Sekilas tampak mudah, tapi permainan ini menuntut keseimbangan, fokus, dan strategi.
Tak peduli laki-laki atau perempuan, semua bisa ikut. Yang penting semangat dan ketangkasan. Dalam suasana riang, kerjasama dan ketelitian ikut tumbuh, tanpa perlu layar sentuh atau jaringan internet.
Kini, Dampu tak lagi semarak. Tergusur perlahan oleh gawai dan aplikasi yang lebih gemerlap. Tapi pertanyaannya: haruskah kita biarkan ia hilang begitu saja?
Warisan budaya seperti Dampu bukan hanya nostalgia masa kecil, tapi juga bagian dari identitas. Mungkin kini saatnya kita mulai lagi ajak anak-anak keluar rumah, ajari mereka bermain genting dan melompat, seperti zaman ketika tawa anak-anak cukup jadi soundtrack sore hari.
Karena setiap lompatan di permainan Dampu, sesungguhnya adalah langkah kecil melestarikan warisan budaya.(*)
Editor : Achmad