Ketika Empati Lebih Berarti: Kisah Alung dan Klinik Lintas Pantura

Min.co.id ~ Indramayu ~ Langit Losarang tampak sedikit mendung. Tapi bagi Alung, warga Desa Jumbleng, ada awan lebih berat yang menaungi hatinya  sang istri sedang terbaring lemah, dan ia harus segera mencari pertolongan medis.

Dengan jari yang agak gemetar, Alung memberanikan diri mengirim pesan WhatsApp ke dr. H. Andri, Kepala Klinik Pratama Lintas Pantura, yang terletak di Kecamatan Kandanghaur. Ia tak kenal dekat, hanya mendengar dari cerita teman bahwa klinik tersebut dikenal cepat tanggap dan penuh perhatian.

Tak butuh waktu lama. Balasan datang.

“Segera bawa ke klinik, Pak. Kami siap menangani.”

Kalimat itu terdengar sederhana. Tapi bagi Alung, itu adalah undangan dari harapan. Ia langsung bersiap, menggandeng istrinya, dan berangkat menuju klinik dengan rasa cemas yang perlahan-lahan mulai reda.

Saat tiba di Klinik Lintas Pantura, Alung mengaku tertegun. Bukan karena desain interior klinik atau alat-alat medisnya, melainkan karena sambutan dari para tenaga kesehatan.

“Saya dan istri disambut seperti keluarga,” ujarnya pelan, saat ditemui 
“Para perawat menyapa dengan senyum. Penanganan cepat. Dan yang paling membuat saya terharu, tidak ada pembedaan antara pasien BPJS atau yang bayar sendiri. Kami dilayani dengan hati.”

Dalam banyak pengalaman sebelumnya, Alung pernah merasa menjadi ‘pasien kelas dua’ karena menggunakan BPJS. Tapi hari itu, semua stigma itu runtuh. Di Klinik Lintas Pantura, ia merasa dihormati, bukan sebagai pasien semata, tapi sebagai manusia.

Kepala Klinik, dr. H. Andri, saat dikonfirmasi, menjelaskan bahwa pelayanan tanpa diskriminasi adalah nilai dasar yang dijunjung tinggi di sana.

“Kami punya moto SEMANGAT,” katanya.
“Itu singkatan dari: Sopan, Empati, Mandiri, Aman, Niat, Giat, Adil, dan Tepat. Bagi kami, itu bukan slogan kosong. Itu prinsip kerja. Itu cara kami memperlakukan setiap pasien.”

Lebih dari sekadar melayani, klinik ini juga menyediakan apotek 24 jam yang memastikan pasien bisa segera mendapatkan obat, kapan pun dibutuhkan.

Kisah Alung bukanlah satu-satunya. Tapi ia adalah representasi nyata bahwa di tengah sistem kesehatan yang kadang terasa dingin dan birokratis, masih ada ruang untuk empati.

Dan empati itulah yang membuat sebuah klinik kecil di tepi pantura menjadi rumah sementara bagi mereka yang butuh pertolongan, tanpa syarat, tanpa perbedaan.

“Kami tidak sempurna,” kata dr. Andri. “Tapi kami selalu berusaha menjadi tempat di mana orang sakit bisa merasa aman, dan merasa dihargai.”

Di tengah dunia yang sering terburu-buru, cerita sederhana seperti ini menjadi pengingat: bahwa kesehatan bukan hanya soal obat dan alat, tapi juga soal perhatian, senyum tulus, dan tangan yang sigap membantu.

Dan Klinik Pratama Lintas Pantura, setidaknya untuk Alung dan keluarganya, telah menjadi bukti bahwa pelayanan kesehatan yang penuh kasih masih nyata di tengah masyarakat.(*)

Editor : Achmad

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *