Min.co.id ~ Yogyakarta ~ Di antara gemuruh suara motor dan lampu kota yang berkelap-kelip, ada sebuah kuliner sederhana yang selalu sukses memikat hati para pencinta kuliner: nasi kucing. Sebuah penganan mungil yang ternyata lebih dari sekadar camilan. Bagi banyak orang, nasi kucing adalah simbol dari kenangan yang tak pernah pudar, seperti sebuah lagu lama yang selalu menyentuh hati.
Pernah bertanya-tanya kenapa makanan ini disebut nasi kucing? Jangan salah sangka, bukan karena untuk kucing, loh! Nama ini muncul karena porsinya yang kecil, seperti porsi makanan yang diberikan kepada kucing peliharaan. Namun, meskipun porsinya kecil, rasanya tak pernah kecil. Nasi, teri, ikan pindang, tempe, dan sambal, dibungkus dengan daun pisang yang harum. Begitu sederhana, namun seakan membungkus sejuta kenangan dalam setiap suapan.
Mulai dikenal sejak era 1930-an, nasi kucing berkembang seiring dengan kemunculan angkringan warung kaki lima yang penuh kehangatan. Konon, angkringan pertama kali dipopulerkan oleh Karso Djukut dari Klaten yang berkeliling dengan gerobak pikulannya. Lalu datang Pairo, pedagang angkringan yang memilih menetap di sekitar Stasiun Tugu Yogyakarta dan menjadikan angkringan sebagai tempat yang tak hanya mengenyangkan perut, tetapi juga menjadi ruang sosial yang penuh tawa dan cerita.
Dari sebuah gerobak pikulan, nasi kucing kini telah merambah ke kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung, namun tetap menjaga esensi dari kehangatan kuliner rakyat.
Meskipun sederhana, nasi kucing punya beragam pilihan lauk yang tak pernah gagal menggugah selera. Beberapa yang paling dicari?
-
Ikan pindang dan teri goreng – Gurihnya mendalam, membawa kenikmatan dalam setiap gigitan.
-
Sambal pedas – Bagi yang suka tantangan, sambalnya bikin lidah berdansa.
-
Tempe bacem dan tahu bacem – Sentuhan manis dari tanah Jawa, penuh nostalgia.
-
Ayam suwir dan empal – Buat yang butuh lebih banyak tenaga, pilihan yang pas.
-
Sate usus dan telur puyuh – Camilan khas yang bisa bikin ketagihan.
Ada juga versi lebih besar, yaitu sego macan, yang bisa tiga kali lipat lebih besar dari nasi kucing biasa. Siap menyantapnya?
Yang membuat nasi kucing begitu spesial adalah harga yang tak menguras kantong. Di Yogyakarta, cukup dengan Rp 2.000 – Rp 5.000, Anda bisa menikmati satu bungkus nasi kucing. Bahkan, di kota besar seperti Jakarta, harga nasi kucing pun masih sangat bersahabat di kantong, sekitar Rp 8.000 per bungkus. Untuk sebuah kuliner legendaris, harga yang luar biasa bersahabat!
Bukan hanya soal makan, angkringan adalah tempat di mana kisah-kisah kehidupan dituturkan, di mana tawa dan cerita mengalir begitu saja. Di Yogyakarta, angkringan sudah menjadi bagian dari kehidupan malam kota pelajar. Di sini, mahasiswa, pekerja, seniman, bahkan pejabat bisa duduk bersama, menikmati nasi kucing sambil berbincang dan bercanda.
Angkringan adalah ruang sosial yang mengajarkan kita tentang kesederhanaan dan kebersamaan, seperti halnya nasi kucing—tak besar, namun membawa kebahagiaan yang tak terhingga.
Jadi, jika Anda berkunjung ke Yogyakarta, Semarang, atau Surakarta, jangan hanya datang untuk melihat keindahan alam dan budaya. Cicipi nasi kucing di angkringan, dan rasakan kehangatannya. Karena di balik satu bungkus nasi kucing, ada sejuta cerita yang tak pernah pudar, yang terus diwariskan dari generasi ke generasi.(*)
Editor : Achmad